Selasa, 21 Oktober 2014

Fiksi 2: Janji Hati



JANJI HATI YANG TAK SETIA


Bahkan meski cinta sendiri yang datang menyapa, diperlukan banyak hal untuk memaknainya..

“Papa mencium dia?”
Hendri membasahi bibir yang mendadak kering. “Nggak sengaja Ma, khilaf.. namanya juga manusia.”
Sarah pernah mendengar itu sebelumnya, di apartemen itu, ketika itu. Malam ketika Hendri bersumpah, meski janji itu tak lantas membuat hatinya berdamai. Dan perasaannya benar. Laki-laki itu belum berubah.
“Nabi saja bisa salah, Ma..”
Sarah  mengangguk, dan bibirnya bergetar ketika berkata-kata, “ of couse! Kekhilafan nabi justru berisi pembelajaran buat manusia yang lain. Jangan bawa-bawa nabi untuk hal  ini.”
“Ma.. Allah maha pemaaf..” Hendrik menggenggam tangan Sarah, mencari hitam dimata Sarah sebelum melanjutkan, “Kalau Dia saja bisa memaafkan setiap dosa, kenapa Mama tidak?”
Sarah memandang laki-laki itu lekat-lekat. Bibirnya terkatup rapat. Nyaris tidak bisa dipercaya, untuk lelaki ini dia terpaksa mengalah.
Laki-laki disebelahnya menjelaskan panjang lebar peristiwa yang menurutnya salah paham. Sarah tidak ingin mendebat.
Salah paham apa yang mengantar laki-laki ke bibir perempuan?
Benarkah hanya sebatas itu?
Hanya Allah yang tahu..
Allah, bagaimana aku bisa menyebut namaMu dalam hati sepengap ini?
Logikanya tidak bisa menerima opsi ini. Tapi Sarah tidak bisa memutuskan apapun. Hatinya mencintai laki-laki itu. Dan Sarah telah menciptakan banyak lubang di hatinya untuk mengubur setiap kesalahan laki-laki itu.
“Ma.. Sumpah.. nggak akan kejadian lagi..” Hendrik mengangkat dua jarinya, mengiba lalu menciumi tangan sarah.
“Berapa kali lagi kamu harus bersumpah.. dan berkhianat?” Sarah tidak ingin menyakiti hati laki-laki itu dengan kata-katanya, tapi hati sarah serasa ingin meledak.
Mungkin untuk mewujudkan kebahagiaan memang harus berkorban. Mencintai adalah merelakan hati untuk disakiti.
***

Satu demi satu rasa sakit yang selama ini mengganjal hati Sarah kembali terkuak. Gunjingan teman dekat Sarah tentang Hendrik dan perempuan lain..
“Rambutnya lebih sebahu, kemerahan..”
“Pernah lunch di café itu..”
“Sering terlihat mesra..”
Penjelasan-penjelasan itu  memunculkan kecurigaan dan mengobrak-abrik pertahanan diri sarah. Berapa banyak perempuan yang sudah singgah dihatinya. Atau mungkin Hendri memiliki hubungan khusus dengan seorang perempuan. Padahal dulu dia yakin terhadap cinta yang mereka miliki.
“Papa tidak main-main mencintaimu Ma..” Kata-kata itu dulu pernah menyejukan hati Sarah.
Tapi tidak.. Sarah tidak boleh emosi hanya karena gunjingan yang tidak jelas. Sampai pada dua tahun setelahnya Sarah masih berpegang pada keyakinan tipis, sementara berita-berita miring yang diterimanya semakin deras.
Berita-berita kemudian menjelma menjadi pengakuan dari seorang perempuan. Meski dia berjuang menahan diri, tak urung emosinya serta merta naik ke kepala. Tapi Sarah menyadari sepenuhnya, perempuan berpendidikan seperti dirinya tidak mungkin berteriak-teriak atau memaki laki-laki dengan kata-kata umpatan. Sarah tahu dia harus berpikir jernih.
“Hanya teman, mungkin bukan apa-apa”
Bisik hati itu seperti percik cahaya dikegelapan.
Laki-laki mana yang tidak memiliki teman perempuan. Mungkin sekedar lunch.. tidak lebih. Tapi perempuan itu tahu banyak hal tentang Hendrik yang pasti bukan suatu kebetulan belaka.
“Motor Hendrik dijual kan?” Sarah membelalak. Tidak menggangguk atau menggeleng. Dia hanya berharap perempuan itu bercerita lebih jauh.
O..God, rentetan cerita itu mengalir mulai dari yang remeh temeh tentang buah dan bakso, lunch dan shoping, hingga yang ramah tamah tentang apartemen dan bibir itu.
Selama ini sarah merasa hubungan mereka telah sempurna. Tetapi kesempurnaan itu menjadi kosong ketika hatinya berdarah. Luka yang tidak pernah dibayangkan akan ditorehkan oleh laki-laki yang selalu menatapnya dengan sorot cinta dan kesetiaan.
Sarah membenci hari dimana dia hanya menyimpan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal dihatinya. Tentang Cinta laki-laki itu untuknya. Tentang janji hatinya. Tentang kesetiaannya.

Beberapa menit berlalu..
“Jadi.. bagaimana selanjutnya?” Sarah membuka kembali percakapan, mencoba meluluhkan batu es.
“Sudah.. jangan membicarakan masalah ini lagi.. khilaf Ma.. Khilaf” Mata Hendrik lekat menatap Sarah.
Khilaf.
Bagaimana lah rasanya khilaf pada bibir seorang perempuan. Tapi Sarah tidak menemukan lagi kata-kata, mengingatnya saja sudah mengiris hatinya. Kemarahan dan luka pasti akan menguap.
Langit menggelap. Satu dua bintang mengintip. Sarah tidak akan pernah berhenti mencintai Hendrik. Laki-laki yang sudah menjadi pelengkap hatinya, menjadi penyempurna kekurangannya, yang telah melembutkan hatinya seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
   ***

Dari cerpen: Asma (By: Shakuntala)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar