Selasa, 28 Oktober 2014

Fiksi 2: PAMIT



PAMIT
By: Shakuntala



Apa yang bisa merubah luka menjadi pualam atau yang bisa merubah airmata menjadi kristal?”

Lembaran ini semoga akan sampai padamu, meskipun aku tahu itu tidak mungkin. Tapi ketika bintang jatuh dari ranting langit, maka apapun akan menjadi mungkin, kecuali cinta kita. Kau tahu, jarak kita bukan jarak ribuan atau jutaan mil, melainkan jarak yang terpisah oleh waktu. Dan jika waktu adalah kupu-kupu, sudah sangat lelah sayap ini melang-lang menyusuri setiap detik, menantimu…
Menuliskan lembaran ini, untuk pertama kalinya aku menyadari bahasa menjadi tidak berguna. Karena tidak ada kata yang dapat mewakili, menebus atau memberi arti bagi “maaf”. Oleh karena itulah kenapa kita diajarkan untuk tidak mengumbar kata, karena begitu sesuatu diikrarkan, kita terikat, dan tidak bisa menariknya kembali. Kedengarannya memang sederhana, tapi tidak ada laku yang lebih ksatria dibandingkan menepati kata. Kata memang tidak selalu janji, tapi kata dapat mengikat hati, dan ketika itulah kata menjadi sesuatu yang harus ditepati.
Pada awal lembaran ini aku mengungkapkan bahwa kita terpisah oleh waktu. Aku terkenang pada cerita tentang Amba dan Bhisma. Sebagian orang mungkin hanya menganggap kisah itu sebagai kisah pewayangan tentang bagaimana kesatria harus menepati janji (pada Bhisma) dan tentang luka batin yang harus terbalas (pada Amba). Begini, jika aku boleh menceritakan dengan pemahamanku. Awalnya Bhisma memboyong  Amba dan kedua saudaranya semata-mata bukan untuk dirinya tapi untuk diserahkan pada adik tirinya. Ketika kekasih Amba berusaha merebut kembali kekasihnya namun kalah dalam peperangan dengan Bhisma, ada dua alasan kenapa Bhisma tetap membawa Amba. Pertama karena Bhisma merasa sebagai pemenang sehingga dia merasa berhak atas tawanan perang, kedua, karena Bhisma mencintai Amba. Alasan kedua adalah alasan yang sangat sulit dihindari juga untuk diakui, karena Bhisma telah terikat dengan sumpah yang tidak mungkin membuatnya bisa mencintai Amba.
Sedangkan Amba adalah yang tertolak. Ditolak oleh kekasihnya karena Amba telah bersedia dibawa ketika dalam perebutan, dan ditolak Bhisma yang telah membawanya karena Bhisma adalah ksatria yang harus menepati sumpahnya pada Dewa. Namun sesungguhnya Bhisma bukanlah ksatria, karena Bhisma tidak dapat menepati janji hatinya pada Amba. Hingga Amba harus pergi dan datang kembali pada masa yang berbeda sebagai Srikandi untuk membalas luka batinnya pada Bhisma.
Pemahamanku mungkin berbeda dengan pemahamanmu, atau pemahaman siapapun yang pernah membaca atau mendengar kisah tentang Bhisma. Namun setiap kisah selalu membawa pesan karena setiap kisah sangat mungkin akan terulang pada waktu, tempat dan pelaku yang berbeda.
Harusnya aku tidak perlu menuliskan itu, karena kau lebih memahami segala hal dibanding aku. Tapi sudahlah…
Kembali pada kisah Amba atau Srikandi. Sebenarnya apa yang menjadikan alasan Amba untuk terlahir kembali sebagai Srikandi. Dalang menceritakan reinkarnasi itu karena luka batin yang harus terbalaskan. Ada benarnya, karena pada akhir kisah, Srikandi benar-benar membunuh Bhisma. Tetapi pemahamanku berbeda, Srikandi adalah cinta Amba dan Bhisma. Kalaupun Srikandi pada akhirnya membunuh Bhisma itu adalah untuk mempertemukan kembali Bhisma dengan Amba. Bertemu pada dunia dan masa dimana Bhisma tidak lagi harus menjalankan laku ksatria.
Aku hanya teringat kisah pewayangan itu dan ingin berbagi kisah itu denganmu. Aku memang bukan Amba, kau juga bukan  Bhisma, dan tidak akan ada Srikandi diantar kita. Kita terpisah waktu tapi disini tidak berlaku reinkarnasi.
Malam sebelum aku menuliskan lembaran ini aku bermimpi, aku berjalan denganmu melewati tebing dan pematang. Jalan yang penuh kerikil, batu dan semak meranggas. Kau bercerita tentang orang-orang disekitar kita, juga tentang kita. Kau menunjuk jalan pada pematang yang terputus. Kau tahu, pada pandanganku, pada garis yang memisahkan jalan dan sawah aku tidak melihat kaki langit disana, atau apapun yang dapat menautkan kita selain keterikatan pada hal-hal diluar diri kita.
Dan malam ini, aku menuliskan lembaran ini untuk pamit padamu. Karena aku tidak bernilai  pada dunia yang kau bangun untuk dirimu sendiri. Memang sedikit terlambat untuk menyadari semua ini, tapi biarlah. Meskipun aku tidak pernah tahu apa yang akan merubah luka menjadi pualam, atau merubah airmata menjadi Kristal. Sekali lagi aku pamit, aku pamit dengan sayang.@
(Gemawiga_Cermin: Edisi September 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar