JANJI
HATI YANG TAK SETIA
Bahkan meski cinta sendiri yang datang
menyapa, diperlukan banyak hal untuk memaknainya..
“Papa mencium dia?”
Hendri membasahi bibir yang mendadak
kering. “Nggak sengaja Ma, khilaf.. namanya juga manusia.”
Sarah pernah mendengar itu sebelumnya, di
apartemen itu, ketika itu. Malam ketika Hendri bersumpah, meski janji itu tak
lantas membuat hatinya berdamai. Dan perasaannya benar. Laki-laki itu belum
berubah.
“Nabi saja bisa salah, Ma..”
Sarah
mengangguk, dan bibirnya bergetar ketika berkata-kata, “ of couse!
Kekhilafan nabi justru berisi pembelajaran buat manusia yang lain. Jangan bawa-bawa
nabi untuk hal ini.”
“Ma.. Allah maha pemaaf..” Hendrik
menggenggam tangan Sarah, mencari hitam dimata Sarah sebelum melanjutkan, “Kalau
Dia saja bisa memaafkan setiap dosa, kenapa Mama tidak?”
Sarah memandang laki-laki itu lekat-lekat.
Bibirnya terkatup rapat. Nyaris tidak bisa dipercaya, untuk lelaki ini dia
terpaksa mengalah.
Laki-laki disebelahnya menjelaskan panjang
lebar peristiwa yang menurutnya salah paham. Sarah tidak ingin mendebat.
Salah paham apa yang mengantar laki-laki ke
bibir perempuan?
Benarkah hanya sebatas itu?
Hanya Allah yang tahu..
Allah, bagaimana aku bisa menyebut namaMu
dalam hati sepengap ini?
Logikanya tidak bisa menerima opsi ini. Tapi
Sarah tidak bisa memutuskan apapun. Hatinya mencintai laki-laki itu. Dan Sarah
telah menciptakan banyak lubang di hatinya untuk mengubur setiap kesalahan
laki-laki itu.
“Ma.. Sumpah.. nggak akan kejadian lagi..”
Hendrik mengangkat dua jarinya, mengiba lalu menciumi tangan sarah.
“Berapa kali lagi kamu harus bersumpah..
dan berkhianat?” Sarah tidak ingin menyakiti hati laki-laki itu dengan
kata-katanya, tapi hati sarah serasa ingin meledak.
Mungkin untuk mewujudkan kebahagiaan memang
harus berkorban. Mencintai adalah merelakan hati untuk disakiti.
***
Satu demi satu rasa sakit yang selama ini
mengganjal hati Sarah kembali terkuak. Gunjingan teman dekat Sarah tentang
Hendrik dan perempuan lain..
“Rambutnya lebih sebahu, kemerahan..”
“Pernah lunch di cafĂ© itu..”
“Sering terlihat mesra..”
Penjelasan-penjelasan itu memunculkan kecurigaan dan mengobrak-abrik
pertahanan diri sarah. Berapa banyak perempuan yang sudah singgah dihatinya.
Atau mungkin Hendri memiliki hubungan khusus dengan seorang perempuan. Padahal
dulu dia yakin terhadap cinta yang mereka miliki.
“Papa tidak main-main mencintaimu Ma..”
Kata-kata itu dulu pernah menyejukan hati Sarah.
Tapi tidak.. Sarah tidak boleh emosi hanya
karena gunjingan yang tidak jelas. Sampai pada dua tahun setelahnya Sarah masih
berpegang pada keyakinan tipis, sementara berita-berita miring yang diterimanya
semakin deras.
Berita-berita kemudian menjelma menjadi
pengakuan dari seorang perempuan. Meski dia berjuang menahan diri, tak urung
emosinya serta merta naik ke kepala. Tapi Sarah menyadari sepenuhnya, perempuan
berpendidikan seperti dirinya tidak mungkin berteriak-teriak atau memaki
laki-laki dengan kata-kata umpatan. Sarah tahu dia harus berpikir jernih.
“Hanya teman, mungkin bukan apa-apa”
Bisik hati itu seperti percik cahaya
dikegelapan.
Laki-laki mana yang tidak memiliki teman
perempuan. Mungkin sekedar lunch.. tidak lebih. Tapi perempuan itu tahu banyak
hal tentang Hendrik yang pasti bukan suatu kebetulan belaka.
“Motor Hendrik dijual kan?” Sarah
membelalak. Tidak menggangguk atau menggeleng. Dia hanya berharap perempuan itu
bercerita lebih jauh.
O..God, rentetan cerita itu mengalir mulai
dari yang remeh temeh tentang buah dan bakso, lunch dan shoping, hingga yang
ramah tamah tentang apartemen dan bibir itu.
Selama ini sarah merasa hubungan mereka
telah sempurna. Tetapi kesempurnaan itu menjadi kosong ketika hatinya berdarah.
Luka yang tidak pernah dibayangkan akan ditorehkan oleh laki-laki yang selalu
menatapnya dengan sorot cinta dan kesetiaan.
Sarah membenci hari dimana dia hanya
menyimpan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal dihatinya. Tentang
Cinta laki-laki itu untuknya. Tentang janji hatinya. Tentang kesetiaannya.
Beberapa menit berlalu..
“Jadi.. bagaimana selanjutnya?” Sarah
membuka kembali percakapan, mencoba meluluhkan batu es.
“Sudah.. jangan membicarakan masalah ini
lagi.. khilaf Ma.. Khilaf” Mata Hendrik lekat menatap Sarah.
Khilaf.
Bagaimana lah rasanya khilaf pada bibir
seorang perempuan. Tapi Sarah tidak menemukan lagi kata-kata, mengingatnya saja
sudah mengiris hatinya. Kemarahan dan luka pasti akan menguap.
Langit menggelap. Satu dua bintang
mengintip. Sarah tidak akan pernah berhenti mencintai Hendrik. Laki-laki yang
sudah menjadi pelengkap hatinya, menjadi penyempurna kekurangannya, yang telah
melembutkan hatinya seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
***
Dari cerpen: Asma (By: Shakuntala)