Jangan terlalu mengejar nilai, ijasah, nanti kita lupa hakikat belajar yang sebenarnya.
Jangan terlalu mengejar hasilnya, nanti kita lupa hakikat kesuksesan yang sesungguhnya.
Jangan terlalu mengejar kemenangan, piala, trophi, nanti kita lupa hakikat pertandingan.
Jangan terlalu mengejar kehidupan, materi, nanti kita lupa hakikat hidup ini sendiri, dan lupa melaluinya penuh kesyukuran.
Dan terakhir, my dear, jangan terlalu mengejar seseorang, memilikinya,
nanti kita tidak akan pernah paham hakikat memiliki sebenarnya.
*Tere Liye
Senin, 24 November 2014
Catatan
Saat bertemu..
Siapa yang menunggu, siapa yang datang
Jika dua-duanya sama sama senang
Saat berpisah..
Siapa yang pergi, siapa yang ditinggal,
Jika dua-duanya sama sama terluka
Entahlah..
Siapa yang menunggu, siapa yang datang
Jika dua-duanya sama sama senang
Saat berpisah..
Siapa yang pergi, siapa yang ditinggal,
Jika dua-duanya sama sama terluka
Entahlah..
Rabu, 05 November 2014
Langit Berwarna Ungu
|cerita ini kutulis untuk bintang-bintang di langit hatiku yang selalu berpijar|
Langit berwarna ungu
shakuntala
Langit berwarna ungu.
Sinar
yang terlalu terang dan menyilaukan. Putihkah? Tidak, bukan sinar putih, bukan
sinar matahari yang terang disiang hari. Disini malam, langit berwarna ungu,
udara pun terasa menebar warna lembayung menyentuh permukaan kulit dan telapak
tangan. Juga bukan sinar rembulan yang lembut, tapi sinar yang tajam, silaunya
seolah ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepala. Jarum itu telah sempurna menancap pada setiap
pori-pori di kepala Ellyana. Kedua tangannya tak lagi menutup mata untuk
mengurangi silau, namun memegang kepala dan menarik-narik rambutnya, melepaskan
ribuan jarum yang menancap di setiap tempat rambutnya bertumbuh. Kesakitan yang
luar biasa, jarum-jarum itu telah memutus pita suaranya. Teriakannya kosong,
Ellyana mengerang, meronta, tapi hanya air mata yang merembes dari kedua sudut
matanya.
Dimanakah aku? Tempat ini tidak pernah aku temui sebelumnya.
Tempat yang hanya ada warna violet dan sinar terang yang menyakitkan. Dimana
Mama? Kenapa aku sendiri? Dan rasa sakit ini, darimana ribuan jarum yang
tertancap di kepalaku, apa yang menghimpit dadaku hingga nafasku terasa sesak
dan apa yang menindih perutku. Sakit. Sakit sekali. Dimana Tuhan? Mama pernah
bilang Tuhan akan selalu ada setiap saat, setiap detak jantung, setiap kita
butuh. Sekarang aku butuh Tuhan, untuk melepaskan aku dari semua ini.
Kesakitan
yang terus mendera, kakinya terasa terikat pada batu besar, hingga tak dapat
berlari menjauhi tempat itu. Ellyana hanya bisa berharap Tuhan ada, dan Tuhan
akan menolongnya.
Tiba-tiba,
sinar yang menyilaukan itu berangsur meredup, menyisahkan warna lembayung.
Jarum-jarum di kepalanya telah tercabut, lenyap bersama sinar itu. Udara
segarpun mengisi dadanya, hingga jantung dan paru-parunya tak lagi terasa
sakit. Sayup terdengar suara Mama memanggilnya, namun Ellyana belum juga
menemukannya dimana.
“Ellyana..
ini Mama sayang”
“Ellyana..”
“Ellyana,
dengar Mama, Ellyana harus kuat, HARUS KUAT.”
Mama..
Mama dimana? Kenapa Ellyana hanya mendengar suara Mama. Ellyana kenapa Ma,
kenapa harus kuat?
Ellyana
terus mencari, melihat detil setiap warna lembayung yang menyelimutinya. Adakah
Mama disana. Dicoba untuk menggerakan tanganya, menyentuh warna lembayung di
depan dan di sekitar tubuhnya, namun hanya warna lembayung yang tertangkap. Di
mana Mama? Dicoba untuk mengingat kembali, apapun yang bisa diingat. Rumahnya?
Ellyana ingat, ia tinggal bersama Mama, hanya dengan Mama yang sangat
menyanyanginya. Mama yang selalu ada di dekatnya setiap kali ia membuka mata.
Mama yang selalu membawakan makanan disaat ia lapar. Tapi sekarang di mana
Mama? Sekolahnya? Ellyana ingat, ia punya banyak teman di sekolah, ia juga punya
sahabat yang sangat cantik, Priza, gadis berkacamata yang selalu mengenakan
bandana di rambutnya. Tapi dimana Priza?
Dicobanya
mengingat kemana sebenarnya ia pergi hingga terjebak di tempat yang hanya ada
lembayung dan sinar yang menyakitkan tadi. Ellyana tidak menemukan jawaban,
justru kekhawatiran muncul di benaknya, bagaimana jika sinar itu datang lagi,
kemana ia harus berlindung, kemana ia harus berlari, di mana Mama, di mana
Tuhan?
Ellyana
merasakan sesuatu seperti menusuk di
kerongkonganya, sesuatu yang telah membuatnya tidak bisa berteriak memanggil
Mama. Setelahnya, seperti burung garuda tapi terlihat begitu besar dan sayapnya
tampak indah. Sayap yang begitu halus
dan lembut, sayap yang membentang seolah
akan melindungi Ellyana dari sinar dengan jarum-jarum itu. Hijau. Ellyana
berhail menemukan warna lain didekatnya yang tidak hanya lembayung. Tapi apakah
itu? Lalu selaksa bintang yang begitu dekat. Beribu, atau berjuta jumlahnya.
Entahlah, Ellyana bahkan tidak tahu,
apakah ia harus takut atau ia harus senang dengan alam dan ornamen-ornamen yang
terlihat indah dan aneh.
Mama
pernah bilang, bintang itu letaknya jauh dilangit sehingga terlihat sangat
kecil dan seolah dapatlah kita menggenggamnya. Tapi disini, bintang terlihat
sangat dekat, dan tak mungkin tangan Ellyana yang mungil akan menggenggamnya.
Jika Ellyana dekat dengan bintang-bintang itu, apakah Ellyana berada di langit,
Mama? Siapa yang membawa Ellyana kesini? Ataukah burung garuda bersayap hijau
nan indah itu?
Ellyana
rindu Mama. Ellyana hanya mau ada Mama disini. Ellyana mau pulang, Tuhan.
Ellyana mau di dekat Mama.
Mama...
Mama.. Mama... Mama...
Suara
itu hanya menggema di hati Ellyana. Tapi Ellyana yakin Mama pasti mendengar
suara itu, karena Mama pernah bilang, kalau Mama selalu tahu apa yang ada di
hati Ellyana, meskipun Ellyana tidak mengatakan atau berteriak-teriak.
“Ellyana...
Mama disini sayang. Mama pegang tanganmu, dan Mama ciumi pipimu. Bangunlah
Ellyana sayang..”
“Mama...
Mama.. Ellya mau sama Mama, tapi Ellya tidak tahu bagaimana caranya. Kenapa
Tuhan tidak menolong Ellya, Ma? Padahal Ellya kan sudah sholat. Apa ada bacaan
sholat Ellya yang terlewat ya Ma, jadi Tuhan marah dan tidak mau menolong
Ellya. Tapi kata Mama bacaan sholat Ellya sudah benar. Kalau Tuhan sayang, Tuhan
harus tolong Ellya.”
“Ellyana
sayang.. Ellya masih ingat kan dua kalimat syahadat, ayo dibaca sayang..
Ellyana harus tahu bahwa Tuhan sayang Ellya..”
“Mama..
Benar. Ellya bisa Ma: ashaduallah-illa-ha-illallah-wa-ashaduanna-
muhamadarosulullah..”
Ellyana
mengulang-ulang bacaan itu, dengan mata yang terus terpejam. Hati Ellyana lebih
tenang sekarang, karena ia yakin Mama ada didekatnya, dan Tuhan pasti
menolongnya. Ellyana terus membaca, hingga lelah dan tertidur.
***
Adzan subuh.
Ellyana mendengar adzan itu, perlahan dibukanya matanya.
Dan.....Serasa ingin melonjak ketika Ellyana mendapati samar-samar ada Mama
didekatnya. Mama dengan tatapannya yang penuh sayang memegang tangan Ellyana
dan menciumnya.
“Terima
kasih Tuhan...” bisik Mama lembut, dengan air mata yang menggenang di kedua
matanya.
“Mama..”
Suara Ellyana mengembun.
Ellyana
menatap disekeliling. Tidak ada lagi lembayung, tidak ada lagi garuda hijau
dengan sayap nan halus, tidak ada lagi bintang yang sangat dekat. Yang ada
adalah cairan infus yang menggantung lengkap dengan selang yang tertancap di
tangan kanannya. Tabung oksigen dengan ujung selangnnya yang bercabang dua yang
ditempel di lubang hidungnya, sesuatu seperti dot berlubang dari plastik yang
sangat tebal dimulut yang dilekatkan dengan plaster dan Mama didekatnya,
perawat, dokter dan dinding yang separoh kebawah bernuansa porselen hijau.
Seorang
perawat menyingkirkan selang oksigen yang ada di hidung dan membuka dot
berlubang itu. Lega rasanya, karena aku bisa memangil “Mama” dengan sempurna.
Mama mengusap pipiku, membersihkan sesuatu di sekitar hidung dan mataku. Mama
yang selalu sayang, Mama yang selalu ingin aku terlihat cantik.
“Apa
yang terasa sakit sayang..?” tanya Mama dengan rasa haru.
“Kepala
Ellya sakit Ma, dada, dan perut. Tapi sekarang sudah gak lagi Ma. Ellya kenapa
Ma?”
“Kamu
tiba-tiba pingsan sayang, Mama juga tidak tahu kenapa. Tapi sekarang semua
sudah lewat, Tuhan sudah menyembuhkan Ellya.”
Aku
hanya bisa menarik nafas panjang. Aku juga tidak mengerti kenapa aku pingsan.
Kalau sakit kepalaku pasti karena sinar yang berjarum itu. Tapi pingan? Mungkin
pada saat aku terbang ke langit dengan burung garuda hijau itu. Ah..kenapa aku
tidak mengambil satu bintang itu untuk Mama?
“Ma..
maafin Ellya ya..”
“Kenapa
minta maaf sayang?”
“Ellya
tadi lupa tidak mengambil bintang itu untuk Mama..”
Mama
terlihat tercekat. Tapi Mama tidak pernah terlihat takut oleh apapun, dan
itulah kekuatanku.
“Bintang,
sayang?”
Aku
mengangguk, “Iya Ma, kata Mama bintang itu jauh, tinggi di langit, sehingga
terlihat kecil. Tadi Ellya melihat bintang itu dekat dengan Ellya, banyak Ma,
tapi tangan Ellya tidak cukup untuk menggenggamnya, sekalipun dua tangan. Jadi
Ellya tidak bisa membawakannya buat Mama.”
Mama
tersenyum, namun terlihat air mata itu kembali menggenang di matanya. Mama
memelukku erat, aku tahu Mama tidak mau lagi berpisah denganku, sama seperti
juga aku, Ma. Bahkan saat ini, ketika mataku berat sekali aku takut untuk
terpejam. Aku takut jika aku bangun lalu aku berada di tempat berwarna lembayung
itu lagi, tanpa Mama.
“Ellya
tadi dimana Ma?”
“Di
Rumah Sakit sayang.”
“Bukan
Ma. Maksud Ellya tadi sebelum Ellya terbangun, Ellya berada di tempat yang
hanya ada warna lembayung dan sinar yang terang menyilaukan. Ellya sendiri,
Ma.”
“Ellya
tidak sendiri sayang, ada Mama di dekat Ellya, dan ada Tuhan. Mungkin Ellya
berada di langit, dekat Surga Allah. Bukankah Ellya bilang dekat dengan
bintang-bintang itu.”
Aku
mengangguk, “Mama tahu siapa yang membawa Ellya ke langit?”
“Siapa
sayang?”
“Burung
garuda hijau, Ma”
“Burung
garuda hijau?” kali ini dahi Mama berkerut, pasti Mama lagi membayangkan burung
garuda seperti yang didinding sekolah Ellya tetapi dengan berwarna hijau, bukan
warna emas. Lalu Mama tersenyum dan mencium keningku.
“Sayapnya
lebar Ma, jadi bisa membawa Ellya terbang tinggi ke langit.”
Ellya,
kalau saja kamu tahu, bahwa Mama seolah telah berebut nyawa dengan Tuhan pada
saat kau sakit. Dan sekarang kau kembali dengan ceritamu tentang bintang dan
burung garuda hijau. Keajaiban apa yang telah diberikan Tuhan pada
perjalananmu, Nak.
***
“Ellyana...
Ellyana...” Suara
itu hanya samar-samar tertangkap telinga Ellyana, tapi Ellyana tahu ada yang
memanggilnya. Diilihatnya sekeliling, Ellyana melihatnya berdiri di kaki tangga
di ruangan sempit yang bermandikan cahaya dari bohlam telanjang. Di kedua sisi
ruangan itu tampak pintu, entah menuju kemana, Ellyana belum mengenali ruangan
ini. Dia seorang gadis seumurnya, rambutnya berwarna emas seperti rambut boneka
Berbie yang Ellyana punya di rumah.
“Kamu
siapa?” tanya Ellyana ragu karena terlihatnya gadis itu hanya samar-samar,
mungkin karena sinar bohlam dibelakang gadis itu.
“Julie.”
“Julie?
Apa aku mengenalmu? Bagaimana kau tahu namaku?”
Sinar
di belakang gadis itu semakin terang dan semakin terang hingga yang tampak kini
hanya pendar warna yang seolah memancar dari ratusan bohlam diruangan itu. Tak
tampak lagi gadis itu. Ellyana ingin mencari ke ruangan itu, tapi selang infus
di tangannya menghalanginya untuk turun dari ranjang. Teringat sinar dengan
ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepalanya, Ellyana mulai ketakutan dan panik.
“Mama..!!!”
Teriak Ellyana sekuat tenaga.
“Ya
sayang..” ujar Mama lembut sambil memegang tangan Ellyana “Kamu mimpi sayang?”
Mama berusaha menenangkan.
“Iya
Ma.” Ellyana lega karena ia terhindar dari sinar dan jarum itu, terlebih karena
ada Mama disampingnya. “Ellyana takut sinar itu datang lagi Ma.”
“Sinar
apa sayang?” Mama tampak sangat khawatir, meskipun dia masih berusaha membuatku
tenang.
“Sinar
yang membuat kepala Ellyana sakit sekali, Ma..”
Butuh
waktu beberapa saat untuk menenangkan Ellyana. Mama sebenarnya juga tahu sinar
apa yang dimaksud Ellyana, namun Mama menangkap ketakutan itu di wajah Ellyana.
Pelukan Ellyana semakin erat bahkan terasa sakit di leher Mama.
“Sekarang
ceritakan apa saja yang Ellyana temui di mimpi.” bisik Mama, membiarkan Ellyana
melepaskan sendiri pelukannya.
Ellyana
mulai bercerita tentang sinar dan jarum-jarum itu, tentang warna lembayung,
burung garuda hijau, bintang-bintang yang nampak begitu dekat, tentang ruangan
di belakang tangga, juga tentang Julie.
Ellyana
sudah tidak sanggup lagi menahan tangis, dia mulai terisak demikian kerasnya,
karena ketakutan, karena kekhawatiran sesuatu yang akan menyakitinya lagi
melalui mimpi-mimpinya. Mama tidak pernah menduga tentang apa yang dialami
Ellyana. Selama ini semua baik-baik saja. Ellyana tak ubahnya anak-anak
seusianya yang lincah, kreatif, suka bernyanyi, menari, membaca, melukis.
Sekarang Ellyana bercerita tentang mimpi-mimpi yang membuatnya ketakutan,
sungguh sulit dipercaya. Mama kembali memeluk Ellyana erat, meskipun hal itu
hanya membuat tangisnya semakin menjadi.
Mama
mulai kesulitan untuk menenangkan putri kecilnya, karena hatinyapun galau dan
penuh ketidakpahaman akan apa yang dialami Ellyana. Seminggu yang lalu, Ellyana
tertidur pulas selama kurang lebih 48 jam. Suatu hal yang tidak lumrah untuk
anak yang dalam kondisi baik-baik saja tanpa ada pengaruh penyakit ataupun
obat-obatan.
Hanya
Tuhan yang tahu apa sebenarnya yang dialami Ellyana. Saat ini, kondisi Ellyana
seperti tidak mengalami sakit apapun. Hanya ketakutan akan mimpi-mimpi itu yang
membuatnya mengalami trauma. Ellyana tidak mau memejamkan mata, dan baru
terlelap setelah perawat menyuntikkan obat tidur melalui selang infusnya.
Mama
tidak pernah beranjak dari sisi Ellyana, kecuali ada seorang yang bisa
dipercaya menjaga putrinya. Itupun hanya untuk ke kamar mandi atau sholat. Mama
lebih memilih terlelap disamping ranjang Ellyana dengan tangannya yang teris
menggenggam tangan Ellyana. Namun sebisa mungkin Mama tidak akan tidur pada
saat Ellyana tertidur. Mama ingin setiap saat, setiap mimpi-mimpi itu
mendatangi Ellyana, ia ada dan siaga untuk menolongnya. Pada saat kelopak mata
Ellyana bergerak berputar-putar dengan cepat dalam lelapnya, artinya Ellyana
tengah bermimpi. Entah apa mimpinya, tapi Mama berusaha membuyarkannya. Namun
hal itu berulang kali terjadi setiap kali Ellyana terlelap. Masih seputar Sinar
yang menyakitkan, warna lembayung terkadang, dan teman mimpinya, Julie.
***
Malam yang hampir lewat
Ini
adalah persalinan selama 20 jam. Saat-saat menunggu kelahiran bayi pertama,
bayi yang nanti akan terlahir tanpa kehadiran sang ayah. Disini, di kamar ini
hanya ada Luna dan sang bidan. Luna tampak sangat cemas dan kesediahan
menggantung di matanya. Siapapun wanita di dunia ini selalu berharap ada lelaki
yang dicintai saat berjuang dengan bayinya seperti saat ini. Sangat berharap
tatapan mata dan genggaman tangan yang akan memberikan bantuan kekuatan lahir
dan batin. Tapi Luna hanya sendiri, Fredy tidak sabar menunggu buah hatinya
lahir dan telah pergi selamanya pada kecelakaan 3 bulan yang lalu.
Harusnya
persalinan ini masih sekitar 25 hari lagi, namun kondisi batin Luna yang sangat
labil karena kepergian suaminya telah membuat bayinya resah dan ingin segera menemani Luna di dunia. Fredy
pergi tanpa meninggalakan tanda atau pesan apapun. Hanya bayi dalam kandungan
Luna yang kelak akan menjadi kenangan dan buah dari cinta mereka berdua
selamanya.
Berbagai
rasa bercampur aduk saat ini. Walaupun Luna sangat bersemangat karena akan
menjadi ibu dan ingin segera melihat hasil cintanya dengan Fredy namun ketidakhadiran
suaminya sangat merisaukan. Tidak pula adiknya, Soffie. Bidan yang sudah
berusia lebih setengah abad itu, tampak tenang dan begitu sabar menunggu
kelahiran sang bayi. Berkali-kali diusap peluh di kening dan leher Luna,
dibuatkan teh hangat untuk Luna yang mungkin bisa mengganti tenaga yang keluar
karena menahan rasa nyeri yang berulang-ulang. Gerakannya gesit namun sangat
hati-hati. Pengalaman membantu kelahiran lebih dari 3000 bayi membuatnya sangat
profesional dalam hal ini.
Pinggul
Luna yang tidak terlalu lebar membuat rasa nyeri mendera disekitar pinggul.
Luna merasa seolah akan terbelah, seperti kacang polong yang pecah. Luna
menjerit kesakitan dan air matanya tumpah ruah. Mungkin rasa sakit yang mendera
karena persalinan dan rasa sakit di hati karena kerinduan.
Tepat
jam 3 dini hari, bayi mungil keluar, “Perempuan Luna” kata bidan itu dengan tangan gemetar,
karena sungguh ia pun merasa khawatir dengan kelahiran bayi ini karena Luna
yang telah cukup lama kesakitan dan tampak putus asa.
Luna
hanya tersenyum, ia merasakan rahimnya kosong, dan hatinya pun lebih dari
hampa. Luna teringat apa yang pernah dikatakan Fredy, sebelum bayi itu
bertumbuh diperutnya, “Kelak, dari rahim ini akan terlahir bayi perempuan
mungil yang ia akan tumbuh menjadi gadis yang luar biasa, Ellyana namanya.”
Fredy mengelus perut Luna yang masih hampa, tanpa bayi. Air mata Luna kembali
menetes, mengenang cinta dan kerinduannya. “Ellyana.”
Sang
bidan memukul pantat bayi itu, pelan. Berikutnya agak keras, tapi bayi itu
tidak menangis. Tidak juga membuka mata. Tapi dadanya bergerak-gerak perlahan
tanda paru-parunya telah menghirup udara. “Kenapa dia?” tanya Luna khawatir.
“Tidak
mau menagis, mungkin kelelahan karena terlalu lama di jalan lahir. Dia cantik,
Luna.” Sang Bidan mendekatkan bayi itu pada Luna. Luna menatapnya sepenuh hati
dan menyentuh lembut bibirnya yang sangat kecil dan mengatup rapat. Terlihat
tanda lahir, tanda itu terdapat di dahi, di
antara kedua mata, sedikit agak di atasnya. Tanda yang seperti bekas
pukulan yang membekas dalam dengan warna agak gelap samar. Sama seperti tanda
lahir yang dimiliki Fredy. Luna mengusap tanda lahir itu, lalu mengecupnya
lembut, “Kamu akan jadi gadis yang luar biasa, seperti yang Papamu pernah
katakan, Ellyana sayang.”
Ellyana
bayi masih juga tidak menangis. “Coba dekatkan puntingmu, barangkali ia mau
menetek” saran sang bidan. Luna mencoba. Ellyana tetap mengatupkan bibirnya,
pun matanya tetap terpejam. “Tak apa meskipun dia tidak menangis, aku yakin dia
baik-baik saja, biarkan dia tidur disampingku.” Luna menyerahkan Ellyana bayi
pada sang bidan. Luna pun tertidur karena lelah.
Entah
sudah berapa lama Ellyana tertidur. Disampingnya kini sudah ada Soffie,adiknya,
dan sang bidan sudah pulang. Ellyana bayi yang dibungkus kain fanel hijau muda
dengan motif bunga-bunga hanya terlihat bagian mukanya yang mungil. “Kakak
baik-baik saja?” Soffie mencium kening Luna.
Luna
mengangguk dan berusaha untuk duduk. Terasa nyeri diperut dan di jalan lahir.
Soffie membantu dengan meletakkan bantal dibelakang dipunggung Luna, lalu
Ellyana diangkat dan diletakkan dipangkuan Luna yang juga dialas bantal. “Apa
dia hanya tertidur sejak tadi?” tanya Luna sambil mengusap alis Ellyana yang
hanya terlihat samar-samar.
Soffie
mengangguk, “Bidan tadi pesan, kalau kakak sudah bangun, si kecil juga harus
dibangunkan. Seandainya tidak mau menetek, coba menetesi madu di melutnya menggunakan kain kassa,
atau disuapi susu formula pakai sendok kecil. Sudah disiapkan semua di meja,
dia janji nanti sore akan kembali lagi.”
“Namanya
Ellyana, Soffie. Ellyana Liandra Fredinio.” Luna masih menatap Ellyana.
Mengamati hidungnya, bibirnya yang merah dan kecil, tanda lahir merah, dan
pipinya yang tembam. Ellyana merasa diperhatikan dan merasakan detak jantung
yang sama seperti ketika masih dikandungan membuatnya mengeliat dan berusaha
menggerakkan tangannya. Tapi kedua tangannya terbungkus dan Ellyana berusaha
meronta dan menangis. Tangis bayinya yang memang sudah sangat diharapkan. Luna
dan Soffie tersenyum menyambut tangisan Ellyana. Kedua mata bayinya terbuka.
Bola mata hitamnya tampak bulat dan hanya menyisahkan sedikit ruang untuk warna
putihnya. Tatapan mata bayinya menghujam tepat pada mata Luna. Luna takjub akan
hal ini, namun Luna tersenyum untuk menunjukkan kasih sayangnya pada Ellyana.
Dalam hati Luna bertanya, kenapa Ellyana yang
masih berumur beberapa jam sudah dapat melihat dengan tatapan
mata yang sangat fokus. “Aku melihat diri kami dalam dirinya, bukan
diriku, juga bukan dirinya, tapi aku dan Fredy.” Bisik Luna.
Soffie
menitikan air mata, antara rasa bahagia dengan kehadiran Ellyana mungil dan
rasa haru melihat ketabahan yang dipaksakan oleh kakaknya. Soffie mencium pipi
Ellyana, “Kau adalah mukjizat Mamamu, sayang.”
Malam
ini adalah malam pertama kehadiran Ellyana di rumah ini. Sang bidan yang entah
karena ingin memastikan kondisi Luna malam ini baik-baik saja atau karena
Ellyana yang menurut dia sangat istimewa, malam ini dia memutuskan untuk
tinggal di rumah ini. Soffie tentu saja sudah siap menjaga Ellyana semalaman
karena dia tahu kondisi Luna yang masih lelah dan sakit.
Namun
pagi harinya, mereka bertiga menyadari bahwa Ellyana sama sekali tidak
merepotkan mereka. Bahkan pagi inipun ia terbangun hanya dengan senyum yang
menggemaskan. Sang bidan menggendong dan meminumkan susu menggunakan sendok. Ia
memperlakukan Ellyana seperti cucu sendiri. Bibir Ellyana mengecap susu dengan
menggerak-gerakkan bibir dengan lucu. Sungguh menggemaskan. Sementara Luna
dibantu Soffie membersihkan badannya dengan air hangat. Sang bidan telah
menambahkan aroma theraphy pada air hangatnya. Luna memejamkan mata dan
menghirup aroma itu dalam-dalam, serasa memulihkan segala ketegangan,
kekhawatiran dan kesakitannya. Merasakan kembali kerinduannya, rasa yang selalu
saja tidak pernah bisa dihindari.
Juga
rasa sepi.
***
Lukisan hasil coretan.
Sebuah
pemandangan dengan laut yang membentang. Tanpa gunung atau pepohonan. Hanya
laut berwarna biru, bersembur warna putih yang tidak beraturan, mungkin yang
dimaksud adalah ombak yang bergulung. Selebihnya hanya coretan warna ungu dan
abu-abu. Lebih banyak warna ungu.
Lukisan
lain, mungkin sawah, mungkin padang rumput yang membentang. Warna hijau muda
dan hijau tua bersembur warna kuning yang juga tidah beraturan. Mungkin padi
atau rumput yang menguning. Selebihnya adalah langit dengan warna ungu dan
abu-abu. Lebih banyak warna ungu.
Lukisan
yang juga tertempel disebelahnya, seorang gadis kecil yang duduk dihamparan
rumput, mungkin menggambar diri sendiri atau sesseorang. Menggenakan gaun
panjang hingga tak tampak kedua kakinya, rambut lurus sebahu dengan hiasan
mungkin serupa pita atau jepit rambut yang tidak jelas berbentuk seperti apa.
Di belakang gadis itu, coretan warna ungu memenuhi seluruh permukaan kertas.
Hanya warna ungu.
Lukisan-lukisan
itu ditempel di dinding ruang tengah. Masih ada beberapa lagi yang tidak jelas
lukisan apa, hanya coretan warna-warna yang didominasi warna ungu, abu-abu dan
biru tua. Luna memperhatikan lukisan atau tepatnya coretan-coretan warna itu.
Ellyana, pada tahun ke dua perkembangan mulai suka membuat coretan-coretan.
Terkadang tergambar sebuah lukisan, namun tak jarang hanya paduan warna warni
di atas kertas. Namun selalu saja ada yang Ia ceritakan dari setiap coretan itu.
Luna
meskipun tidak sepenuhnya memahami arti coretan itu, namun ia sangat menghargai
hasil karya Ellyana, dan disediakan dinding di ruang tengah untuk menempel
karya-karya itu. Awalnya Luna hanya ingin membuat Ellyana bangga dengan apa
yang telah diciptakan, tanpa terpikir apapun dari coretannya itu. Namun,
setelah seorang temannya yang berkunjung ke rumahnya mengamati lukisan Ellyana
dan menyarankan untuk menanyakan dan menunjukkan hasil coretan Ellyana pada
seorang psikolog, barulah Luna menyadari bahwa memang ada yang aneh atau khusus
dalam coretan itu.
Warna
ungu.
Tetapi
dalam hati Luna hanya mengagumi, menganggap warna itu hanya sebagai warna kesukaan
Ellyana. Terkadang Ellyana mengatakan dirumahnya penuh dengan kabut berwarna
ungu, dan Luna hanya memberikan senyuman.
Imajinasi
Ellyana mungkin terlalu mendominasi, kemampuan berimajinasi ruang dengan
ide-ide imajinatif yang selalu tertuang dalam hasil-hasil coretan dengan warna.
Ellyana memang tidak begitu suka berkreasi dengan bentuk kongrit, seperti
puzzle atau lego. Mungkin karena dia tidak bebas menuangkan ide yang ada dalam
imajinasinya. Lukisa-lukisan Ellyana menurut Luna adalah sangat istimewa
meskipun ada beberapa lukisan yang ketika Ellyana menceritakan terdengar aneh
dan sangat imajinasi.
Sebuah
lukisan rumah dengan pintu ruang tamu yang diliputi kabut berwarna ungu.
Tanggga yang berbelok dan seolah tanpa ujung, menurutnya tangga itu akan memanjang
atau memendek tanpa bisa dikendalikan oleh siapapun yang melewatinya. Ellyana
juga mengatakan rumah itu selalu diliputi hawa dingin karena kabut yang
mengitari disekitar rumah. Namun diujung pandangan dalam rumah itu terdapat
sembur warna kuning emas, yang menurut Ellyana adalah pemilik rumah itu.
“Siapa
pemilik rumah itu, Ellya?”
“Seorang
gadis, Ma.”
“Lalu..”
“Dia
tinggal sendiri, Mamanya tidak pernah mau bersuara sejak Papanya meninggal,
yang kemudian tak lama setelahnya Mamanya juga meninggal.”
Luna
merasakan seolah semua yang diceritakan Ellyana adalah kisah nyata, “Siapa
namanya?”
Ellyana
hanya menggangkat bahu kemudian menambahkan sebuah coretan warna ungu disekitar
warna emas, lalu menempel lukisan itu didinding dekat tempat tidurnya. ”Dia akan
menjadi temanku, suatu hari nanti..”
***
Ellyana
sedang memusatkan perhatian pada mobil itu, mengamatinya menghilang di
kejauhan. Julie yang berdiri disampingnya juga melakukan hal serupa dengan
ekspresi kesedihan tergurat diwajahnya. Saat ini Julie telah menjadi teman
dalam mimpi-mimpi Ellyana. Julie yang telah menunjukkan pada Ellyana tentang
banyak hal yang kemudian hal tersebut benar-benar ditemui dalam dunia nyata di
luar mimpi Ellyana.
Awalnya
Ellyana tidak mempercai hal tersebut, tetapi setelah beberapa kali terbukti
bahwa apa yang tampak dalam mimpinya ketika bersama Julie akan sungguh-sungguh
terjadi setelahnya.
“Apa
yang harus aku lakukan dengan mobil itu?” tanya Ellyana dengan penuh keraguan.
Julie
hanya menggelang. Dia menatap Ellyana lamat-lamat. ”bukan kau yang menjadi sutradara
dari semua kejadian ini, Ellya.”
“Lalu
untuk apa kau tunjukkan, jika aku hanya bisa menyaksikan tanpa berbuat
apa-apa?” Ellyana mulai gusar, karena ia tahu pasti siapa pengemudi berbaju
biru yang ada di dalam mobil itu.
“Kelak
mungkin bisa, tapi tidak untuk saat ini.” Julie menggenggam tangan Ellyana,
lalu pergi meninggalkan Ellyana dengan segala kegalauan dihatinya. Ellyana
bergeming dari tepatnya berdiri. Mobil itu sudah tidak nampak lagi, hanya meninggalkan
gurat warna lembayung di langit kota sore itu.
***
Kejadiannya .
“Mama tunggu di mobil sayang.” Mama meneriaki Ellyana
yang masih mematut diri di depan cermin di kamarnya. Bukan mengamati baju yang dikenakan atau hiasan di rambutnya,
tapi Ellyana merasa akan terjadi sesutu sore ini.
Ellyana
menghela nafas dan masuk ke dalam mobil dengan sangat enggan. “Apa tante Soffie
jadi nganter Ma?”
“Jadi
sayang, tante Soffie mau pakai mobil kita untuk beberapa hari, baguslah
kebetulan kita juga lagi tidak memakainya.” Jawab Mama didepan kemudi “ Kita
jemput tante Soffie dulu sayang.”
Ellyana
hanya membisu, ingin sebenarnya ia melarang Mama untuk meminjamkan mobilnya
pada tante Soffie, ingin sebenarnya ia bilang untuk tidak usah pergi, ingin
sebenarnya ia menceritakan tentang mimpi itu. Tapi Mama tidak akan pernah bisa
mengerti hal ini. Pasti Mama akan mengira aku sakit lagi. Oh, Tuhan andai saja
aku bisa minta tolong garuda hijau untuk melindungi semua petaka yang nanti
akan terjadi..
“Ellya,
kau baik-baik saja?” Mama melihat kemuraman diwajahku.
Aku
mengangguk dan berusaha tersenyum. Tapi lidahku serasa terkunci. Julie, apa
yang harus aku lakukan? Aku tidak kuasa menghadapi semua ini, bagaimana kau
bisa setegar itu ketika harus melihat kejadian demi kejadian yang menyakitkan
terjadi di mimpi dan dunia nyatamu.
Mobil
Mama berbelok menuju rumah tante Soffie, tinggal satu blok lagi. Dari kejauhan
aku bisa melihat tante Soffie sudah bersiap di depan rumah, mengenakan blus biru. Ellyana memejamkan mata, seolah ingin
pergi menghindari semua ini. Apakah jika tante Soffie tidak mengenakan baju
biru, maka musibah ini bisa dihindari? Mungkin saja, pikir Ellyana, jadi tidak
ada salahnya mencoba.
Sebelum
Tante soffie masuk ke mobil, buru-buru Ellyana membuka pintu mobil, “Tante,
Ellya mau ke kamar mandi dulu..” segera keluar dan setengah berlari membuka
pintu pagar. “Buruan tante, sudah mendesak nih..” sambil memegang perut dan
nyengir-nyengir.
“Iya,..”
memasukkan kunci dan membuka pintu dengan buru-buru.
Ellyana
langsung aja menerobos masuk ke dalam rumah dan mengarah ke kamar mandi yang
ada ruang belakang. Di dalam kamar mandi otak Ellyana berputar keras, apa yang
harus dilakukan agar tante Soffie mau berganti baju. Andai saja tante Soffie
mau membatalkan rencana kepergian ini?. “Tuhan, tolonglah aku, berilah aku
petunjukmu agar aku bisa menolong tante Soffie.”
“Ellya...
masih sakit perutmu?” Tante Soffie mengetuk pintu dan menempelkan telinga di
pintu kamar mandi.
“Iya
tante..” kata Ellyana dengan suara diparaukan.
“Tante
panggil Mama dulu ya?” Tante Soffie bergegas keluar menghampiri kakaknya yang
masih menunggu d mobil. “Ellya sakit perut, Kak”
“Lho..
tadi tidak bilang apa-apa, sekarang dimana?”Buru-buru keluar mobil dan menuju
rumah.
Ellyana
meringkuk di sofa tengah sambil memegangi perutnya. Matanya terpejam karena dia
takut Mama akan mengetahui kebohongannya.
“Kamu
kenapa Ellya?” tanya Mama khawatir. Jangankan sakit perut seperti ini, batuk
karena tersedak minum saja Mama sudah panik luar biasa. Mama memegang dahi,
tangan dan kaki Ellyana untuk memastikan suhu badannya. Dingin. “Ambil selimut
soffie!” pinta Mama sambil membetulkan letak bantal di kepala Ellyana.
Soffie
segera menyelimuti tubuh Ellyana, “aku buatkan teh hangat ya Kak?” tanya Soffie
ikut panik melihat Ellyana yang hanya diam dan memejamkan mata. Dalam hati
Ellyana juga semakin bingung, belum lagi dapat cara untuk meminta tante Soffie
berganti baju, bagaimana dengan kelanjutan sandiwara ini?
“Ini
Kak” Soffie menyodorkan teh hangat untuk Ellyana pada Mama.
“Ayo
sayang, coba diminum” Mama membantu Ellyana untuk bangun dan meminumkan teh
hangat. Ellyana meminumnya beberapa teguk. “Kita ke rumah sakit ya sayang.”
Mama mengusap kepala Ellyana.
“Sudah
baikan kok Ma, cuma mules aja. Mungkin sebentar lagi juga sembuh Ma.” Ellyana
kembali berbaring di sofa dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Kalau
begitu istirahat saja dulu sayang.” Kata Mama
Ellyana
masih memejamkan mata. Kali ini terbayang mimpinya semalam ketika Julie
menemaninya dan menunjukkan musibah
yang akan dilihat oleh Ellyana dalam perjalanannya hari ini. “Bagaimana harus
membelokkan takdir?” Pikir Ellyana. Tapi rasanya hatinya tidak kuasa untuk
menyaksikan musibah itu menimpa Tante Soffie. “Kenapa aku harus mengetahui
semua ini, Tuhan?” jerit hati Ellyana dan tanpa disadari air matanya menetes di
kedua sudut matanya. “Apakah aku harus menyampaikan pada Tante Soffie? Tapi
untuk apa, akan sama seperti yang aku alami, tidak ada yang bisa diperbuat
untuk mengalihkan takdir. Atau seandainya aku tidak ikut dalam perjalanan ini,
apakah semua akan tetap terjadi?”
“Ellya...
ada apa sayang?” Mama memperhatikan kegelisahan Ellyana dan melihat air mata
yang membasahi bantal.
“Ellya
takut Ma..” Ellyana tidak bisa lagi
menahan ketakutan dan semua yang terasa berat di hatinya. Ellyana hanya gadis
kecil yang belum genap 12 tahun. Sejak sakit yang dialaminya 5 tahun yang lalu,
Ellyana memiliki kelebihan yang sampai saat ini justru hanya menimbulkan
ketakutan dan kekhawatiran. Dengan teman mistis dalam mimpi-mimpinya, Julie,
dia melewati hari-harinya yang penuh dengan hal-hal aneh. Bisikan-bisikan,
bayangan, gambaran sesorang yang tidak jelas, sampai mimpi yang menjadi
kenyataan. Julie-lah yang selama ini memberinya kekuatan, menuntunnya untuk
melewati semua hal yang baru dan aneh.
“Takut
kenapa sayang?” Mama merengkuh gadis kecilnya, memeluknya untuk memberinya
ketenangan jika itu memang bisa menenangkan.
Ellyana
hanya terisak, terlalu sulit untuk bercerita pada Mama. Bukan karena Mama tidak
percaya, tapi justru Mama hanya akan semakin khawatir, Mama hanya bisa mengiba
seperti yang pernah dikatakan Mama beberapa waktu yang lalu ketika Ellyana
menceritakan bayangan-bayangan dan mimpi-mimpi itu “Seharusnya Tuhan juga
memberi Mama kelebihan seperti padamu, agar kita bisa berbagi, sayang.”
Pun
ketika aku bercerita tentang Julie, Mama
bilang, “Dapatkah kau minta Julie untuk datang di mimpi Mama? Kalau dia temanmu
seharusnya Mama juga temannya.” Dan Julie hanya tersenyum ketika aku
menyampaikan hal itu padanya. “Mamamu sangat sayang padamu Ellya.” Kata Julie
waktu itu.
“Ellya..
katakan Nak, berceritalah, mungkin Mama tidak bisa banyak membantu tapi
setidaknya Mama bisa memberimu kekuatan, Mama senantiasa mengiringmu dengan
doa-doa sayang, jangan takut pada apapun.” Mama masih memeluk Ellyana erat.
“Tante
Soffie, Ma..” belum sampai Ellyana untuk bercerita, tiba-tiba ia menyadari
sesuatu, bahwa tante Soffie tidak ada di dekatnnya. Dilepaskan pelukan Mama,
diseka airmatanya. “ Tante Soffie mana Ma?” tanya Soffie gusar.
“Pergi
sayang.. Mama minta tolong membelikan obat sakit perut untukmu, kenapa?”
“Tante.......!!”
Ellyana berlari ke luar rumah, berusaha
menghentikan jika mungkin masih bisa dihentikan. Berusaha menahan jika
mungkin masih ada waktu untuk menahan takdir itu agar tidak terjadi. Tapi
mobil Mamanya telah melaju dibawah
kemudi Tante Soffie, mobil itu melaju dan menghilang di kejauhan. Tante Soffie
dengan baju birunya. Siang ini di bawah sinar matahari yang menghangatkan kota,
melewati lampu merah dan Tante Soffie yang tidak akan pernah kembali ke rumah
lagi.
***
Ellyana
menatap kesekililing. Kain kanvas, kuas dan cat lukis telah siap. Pemandangan
yang luar biasa indah, bahkan mungkin menakjubkan. Melihat pemandangan yang
menggigilkan. Tempat ini sungguh elok, seperti Negeri di Taman Surga. Bentangan
hijau dengan takaran yang tidak sama tersaput dengan putih awan dan warna biru
terang disela-selanya. Garis-garis lurus yang menghantar sinar matahari, terasa
hangat menyentuh kulit, beradu dengan dingin yang menyusup ke pori-pori. Danau
membentang dibawah, menjadi cermin bagi bentang langit, sungguh menakjubkan.
Seolah mencairkan tumpukan salju di puncak gunung. Lalu, airnya mengalir ke
sungai yang berkelok keperakan jauh di bawah.
Keindahan
itu belum berpindah pada kanvas yang telah menunggu dipoles, Ellyana merasakan
kehadiran seseorang didekatnya. Wanita yang kurang lebih seumuran dengannya.
Namun terlihat lebih dewasa dengan balutan syal tebal di lehernya. Rambutnya
hitam lurus tergerai melebihi pundak, matanya tidak sempit tapi juga tidak
terlihat bulat seperti miliknya dengan sepasang alis yang tebal dengan bulu-bulu hitam yang hampir terlihat
menyatu.
“Siang..”
sapanya tenang dan mengulurkan tangan
“Siang.”
Ellyana menyambut uluran tangannya, lengan bajunya agak terlihat terlalu
panjang sehingga dia harus menarik kain disekitar siku saat mengulurkan tangan.
“Sonya.”
“Ellyana.”
“Suka
melukis pemandangan?”
“Apa
saja asalkan terlihat indah untuk dilukis.”
“Bagaimana
dengan diriku?” Sonya tersenyum seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya indah
dan pantas untuk dilukis.
Ellyana
memperhatikan lebih seksama. Tidak salah, pikirnya. Teman barunya ini memang
terlihat indah, wajah dan tubuhnya sempurna jika terekam dalam kamera
fotografer. Ellyana tersenyum dan mengangkat bahu, “Bagaimana jika seandainya
lukisanku justru terlihat tidak seindah aslinya?”
“Mungkin
harus dicoba, jika kau tidak keberatan.” Sonya seolah telah menjadi sahabat
lama bagi Ellyana. Keduanya sepakat, Sonya duduk dirumput dengan kaki kanan
yang sedikit ditekuk. Tangan kirinya menopang tubuh kebelakang dan tangan
kanannya bertumpu pada lutut kanan. Rok warna kelabu tua menutup hampir seluruh
kakinya. Blus putih lengan panjang, dan syal tebal warna kelabu lebih terang
dari roknya. Pandangannya mengarah pada langit diatas.
Ellyana
segera membetulkan,”Bagaimana jika tatapanmu lurus padaku, aku ingin melukis
matamu yang seperti pelangi.”
Sonya
tidak menolak, justru dia merasa Ellyana terlalu memujinya.
“Bagaimana
kamu bisa berada disini?” Ellyana lincah membuat sketsa wajah di kanvas,
berkali-kali ia menatap wajah Sonya lekat-lekat memastikan tangannya tidak akan
salah membuat coretan. Namun Ellyana merasa tatapannya terhalang oleh pendar
warna emas dari tubuh gadis iini.
“Entahlah..
mungkin takdir yang mempertemukan kita.”
“Sendiri?”
“ya.”
“Tinggal
dimana?”
“Aku
akan mengajakmu kerumahku.”
“Dengan
senang hati, Sonya.”
Sekejap,
mereka telah menjadi sahabat. Ellyana tidak merasa asing dengan Sonya. Sonya
memang bukan Priza, sahabat di masa kanak-kanaknya. Setelah perpisahan dengan
Priza karena Priza yang memang selalu berpindah-pindah rumah mengikuti
pekerjaan Papanya, tidak ada lagi nama yang tercacat selama hampir 15 tahun
ini, kecuali Julie yang hanya hadir dalam mimpinya.
Ellayana memang bukan gadis yang mudah bergaul. Pada masa
sekolah, setiap kali jam istirahat ia hanya akan makan atau berjalan dengan
kesendiriannya. Guru-guru selalu memuji keberhasilannya dalam kelas, namun
selalu mengganggap Ellyana memiliki masalah kepercayaan diri. Beberapa lelaki
menganggapnya menarik, tapi mereka semua akan mundur dengan sikap dingin
Ellyana. Kelompok gadis adalah kisah yang lain. Mereka mengagumi kepandaian
Ellyana, namun terkadang mengganggapnya terlalu membosankan karena
nasehat-nasehatnya dan tidak ingin mendekatinya. Namun beberapa dari
gadis-gadis ini masih menghormati Ellyana, dan mereka berteman seperti berteman
dengan yang lain.
Sebenarnya
Ellyana tau bagaimana caranya berteman, namun dia tidak ingin terlalu dekat
dengan mereka. Karena terkadang kehadiran sesuatu yang tidak diketahui
teman-temannya, akan dianggap mereka aneh. Ellyana lebih suka ketika mereka
hanya belajar dan belajar, tanpa menggunjingkan siapapun atau membicarakan
laki-laki yang terdengar sangat membosankan bagi Ellyana.
Sekarang
diusia Ellyana yang duapuluh tahun, Sonya,
menurut Ellyana sangat menarik dan memesona. Dia seperti Julie, mungkin.
Untuk pertama kalinya setelah tante Soffie meninggal, Ellyana pergi
berjalan-jalan mengitari kota, keluar masuk pertokoan, tertawa terbahak-bahak
dengan ice cream atau coklat ditangan,
bersama Sonya. Sonya
yang sangat gemar Ice cream telah menularkannya pada Ellyana, demikian pula
Ellyana telah membuat Sonya kecanduan dengan coklat-coklat. “Coklat bisa
membuat kulitmu halus” kata Ellyana ketika pertamakalinya menyerahkan sebatang
coklat pada Sonya. Ellyana dapat
menghabiskan waktu selama mungkin dengan teman barunya ini, merasakan hangatnya
sinar matahari, atau berjalan menembus hujan lebat.
Hari
itu, setelah dari toko buku dan membeli beberapa cat lukis dan majalah-majalah fesyen
yang memberitahu mereka baju-baju atau tas mana yang sedang trend, mereka
menuju rumah Sonya. Sebuah rumah dengan halaman yang tidak begitu luas namun
berumput hijau. Mereka menaiki beberapa undakan untuk sampai ke pintu utama
rumah. Sonya membuka pintu, dan mereka berdua berhampbur masuk ke dalam rumh.
“Waow....
segar sekali disini?” Ellyana merasakan hembusan dingin yang menerpa wajah dan
badannya. Sonya menghempaskan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata merasakan
kesejukan melingkupi dirinya.
“Kamarku
diatas” kata Sonya setelahnya.
“Kamu
sendiri, dirumah ini?” tanya Ellyana dengan pandangan mata yang mengitari
seluruh rumah. Ada tangga melingkar yang menghubungkan ruang tamu dengan dua
atau tiga kamar di lantai 2.
“Denganmu
saat ini.” Sonya menarik tangan Ellyana menuju tangga melingkar itu.
Ellyana
tidak menolak, tepat diujung tanggga terdapat sebuah ruangan dengan pintu
tertutup, “Itu dulu ruang kerja Papa” Sonya menjelaskan dengan langkah kaki
menuju kamarnya. Ia membuka pintu pada ruangan di sebelahnya, “ini kamarku,
masuk”.
Sebuah
ranjang yang luas untuk tidur sendiri tertata begitu apik dengan bunga-bunga besar berwarna merah memenuhi
spre. Meja rias dengan kaca oval, lemari pakaian tembus pandang, lemari es
ukuran kecil, meja berwarna hijau menghadap ke jendela kamar dan sofa hijau
yang tiak terlalu besar. Sebuah foto seorang ibu dengan kacamata coklat yang
lebar dengan baju hangat yang sangat tebal dan rambut yang dikuncir dibelakang.
“Itu Mama” Sonya memberikan penjelasan ketika melihat Ellyana memperhatikan
foto itu.
“Mama
lebih mencintai Papa daripada aku, sehingga dia lebih memilih untuk
meninggalkan aku sendiri.” Sonya mengerjapkan mata untuk menahan air mata yang
mengembun.
“Sudah
lama kamu hidup sendiri?”
Sonya
membuka lemari es dan megeluarkan minuman kaleng, ”Sejak Papa meninggal, Mama selalu murung dan hanya
membisu. Benar-benar membisu karena tak sepatah katapun ia ucapkan, tidak juga
untukku. Lalu ia mengalami sakit yang luarbiasa pada punggungnya hingga ia
tidak dapat duduk atau merubah posisi pada saat ia tidur. Sakit itu akhirnya menghantarkannya pada
Papa, belum lagi satu tahun dari meninggalnya Papa. Aku masih 15 tahun.
Dalam
hati Ellyana bersyukur, meskipun ia tidak pernah tahu laki-laki yang disebutnya
sebagai Papa, namun Mama adalah segalanya. Mama selalu membuka ruang hatinya
untuk Ellyana. Mama tidak pernah membiarkannya dalam kesendirian yang sepi. Namun jika Ellyana
tidak pernah menceritakan Sonya pada Mama adalah hal yang sudah biasa. Karena
terkadang Ellyana sendiri tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Ellyana
mengalihkan perhatiannya pada lemari pakaian yang tembus pandang. Lemari lebar
dua meter dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit kamar. “Hey, apa kau
fotomodel atau pragawati?” tanya Ellyana mengalihkan suasana muram.
Sonya
tertawa lepas, “ Wanita diciptakan untuk selalu terlihat cantik, dan aku rasa
itu akan terlihat mustahil jika tanpa gaun yang juga cantik.” Sonya membuka
lemari itu dan mengambil beberapa baju dan ditunjukkan pada Ellyana.
“Coba
baju ini, kau lebih cantik dari miss
universe” Sonya meyerahkan baju berwarna
ungu terang, dengan badan yang terlihat ramping, namun melebar pada
roknya dengan bagian bawah yang merumbai tidak rata. Lengannya sedikit diatas
siku, rapat. Ellyana menempelkan ditubuhnya dan melihatnya di cermin.
Ellyana
tersenyum lebar, Sonya mengambil sebuah gaun di lemari dan menempelkannya di badan seperti
yang dilakukan Ellyana. Mereka berdua merapat melihat kecantikannya di cermin.
Detik itu juga Ellyana menyadari sesuatu, ia tak dapat melihat bayangan
temannya. Di cermin ia hanya melihat dirinya sendiri yang memegang gaun ungu
terang.
Malam
hari dikamarnya, Ellyana kembali memikir tentang Sonya. Apakah dia hanya ada
dalam khayalannya? Ellyana sesungguhnya lelah dengan semua khayalan itu,
khayalan-khayalan yang hanya seperti gelembung sabun yang rapuh. Terlihat indah
dengan warna-warni pelanginya, namun sekejap akan terbawa angin dan pecah.
Sonya
adalah wanita dengan separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh.
Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi
warna itu. Bagi Ellyana hanya dengan Sonya ia dapat bergerak dengan santai,
berbicara dengan lancar, dan mendapatkan kesempatan tertawa lepas seperti ketika
ia bersama tante Soffie. Pada malam hari, sebelum Ellyana tertidur, ia akan
membayangkan Sonya tidur disebelahnya, sangat dekat, sehingga mereka bisa
bercerita tentang apapun hanya dengan berbisik. Dan ketika pagi menyapa,
Ellyana mendapati dirinya sendiri di kamarnya, di tempat tidurnya.
***
Ini adalah tentang pemilik hati.
Ellyana menemukannya pada usia yang ke duapuluh dua. Ellyana tidak tahu apakah lelaki itu mengenalnya sebagai perempuannya atau
tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi jeda dalam diam yang berkepanjangan. Ellyana merasakan kedamaian dengan kehadirannya,
dan ruhku mengatakan ingin selalu dekat
dengan lelaki ini. Laki-laki ini seolah selalu tahu kapan ia mengharapkan
kehadirannya, dimana ia menunggunya. Setiap kali bulan bersinar penuh atau
hanya setengah, lelaki itu selalu ada didekatnya.
Ah, mungkin
laki-laki ini tidak seajaib yang ia kira. Dia hanya lelaki
seperti para lelaki yang biasanya mampir di butik
Mama Ellyana. Mungkin
atas permintaan seseorang atau memang kedatangannya atas dorongan rasa yang
entah bagaimana sehingga mereka berdua bisa bertemu. Anehnya
Ellyana merasa jatuh sayang
dengan lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam.
Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga
menjadi raksasa-raksasa pahlawan.
”Mengapa kamu selalu datang ke
Butik ini?”
Pertanyaan itu hanya ada di
dalam hati Ellyana
saja. Ia benar-benar takut untuk
bersuara terhadapnya. mereka benar-benar
terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Ketika Inya, asisten Mama menyelesaiakan proses
pembayaran beberapa baju yang telah dipesan, Ellyana menemani lelaki
itu. Ellyana tanpa alasan yang bisa dijelaskan merasa
benar-benar terpukau padanya. Ruang-ruang di antara sekat-sekat
jantungnya merongga luar biasa dan di antaranya
mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.” Kata lelaki itu.
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Ellyana merasakan mukanya memerah seperti buah plum
yang telah masak. Ia mengejap
untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa
nujum itu. Ribuan dentum di dadanya
berdegup oleh satu kalimat yang belum
pernah ia dengar sebelumnya. Selalu seperti sebuah
entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuat Ellyana sangat nyaman menikmati.
“Terimakasih.” Hanya kalimat itu,
karena Ellyana tidak mau mengatakan kebohongan ataupun mengatakan kejujuran
yang akan disesalinya nanti.
Ellyana benar-benar
ingin dia selalu merindu. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin Ellyana telah melanggar aturan.
Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung mereka sendiri. Ellyana berharap bisa
menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi.
”Kamu malaikat jatuh?”
Lelaki itu tertawa dan tawanya melegakan hati Ellyana. Artinya masih ada
harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung butik Mama yang lain. Bukan seperti Sonya atau Julie. Ellyana memang merasakan
tidak pernah bertemu sebelumnya, dimanapun, di khayalan, juga dimimpi.
Ellyana merasakan menemukan lelaki
yang tepat. Seperti kanvas kosong yang digoreskan warna demi warna, hari demi
hari, perlahan menemukan bentuk yang ingin dilukiskan. Saat ini setelah beberapa
kali pertemuan mereka yang sepertinya disengaja, hati Ellyana terasa telah
terisi. Seperti lukisan yang telah jadi, terlihat indah dan benar. Namun
sejatinya apa arti dibalik lukisan nyata itu? Pertanyaan demi pertanyaan
menggelayut di banaknya. Bagaimana dengan Harry? Apa ia juga begitu?
Ellyana merasa nyaman bersama
Harry, tapi bagaimana dengan Harry, apakah ia juga merasakan hal yang sama?
Ellyana menentukan pilihannya pada Harry. Tapi apakah Harry juga memiliki
kayakinan serupa?
Ellyana berusaha mencari
tanda-tanda itu, bahkan mencari jawaban secara pasti, suatu siang, ketika Harry
mengajaknya lunch di cafe.
”Mengapa kamu mengajakku?”
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama
sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Ellyana merasakan dirinya begitu bodoh ketika mempercayai kata-kata itu.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat.
Tapi di saat yang salah,” Ellyana takut
adalah suatu kesalahan ketika waktu yang salah telah memilih
Harry menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak.”
”Mungkin kamu tidak serius.”
“Mungkin
kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di
persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula”.
Pada detik-detik itu Ellyana bertanya-tanya bagaiman mungkin Julie tidak pernah
memberitahunya tentang lelaki ini?
Harry mengantar Ellyana pada ujung pintu. Ellyana berharap besok, dan besoknya lagi ia tidak lagi
bertemu lelaki ini. Hingga ketika waktu telah jauh bergulir dan ketika ia
mendapati diri tak lagi jatuh cinta pada Harry.
Kenyataan, selama tiga bulan
kemudian, mereka selalu bertemu setiap saat, pada setiap kesempatan. Mereka
menjelajah plaza, cinema, cafe dan
sepanjang jalan. Terkadang menghabiskan saat-saat matahari terbenam di tepi
kota yang jauh dari ramainya kendaraan. Suatu hari Harry menjelaskan tentang
burung-burung yang terbang besama-sama pada langit temaram. “mereka mengikuti
matahari.”
“Bagaimana kamu tahu?” tanya
Ellyana.
“Rahasia alam semesta lebih mudah
dimengerti dibandingkan hati seorang perempuan”. Harry mengatakan dengan sangat
serius, sementara Ellyana menanggapinya dengan tertawa. Ia sama sekali tidak
menyadari bahwa kata-kata itu, kelak akan terus menghatuinya.
Dan ini adalah sepenggal cerita
yang semakin membuat Harry tidak mengerti.
Siang itu Ellyana menggantikan
posisi Mama di butik ditemani Sonya. Ketika Harry tiba-tiba sudah berdiri di
depannya, sontak Ellyana sangat terkejut dan menjatuhkan nota-nota ditanganya.
Namun kemudian Ellyana dan Sonya tertawa lepas. Harry mengajak Ellyana jalan
siang itu.
“With Sonya?”
“Sonya? Siapa dia?”
Ellyana antara sadar dan bingung,
bagaimana dia menjelaskan semua ini pada Harry? Namun dia sudah terlanjur menyebut
nama “Sonya”. Sonya paham kebingungan Ellyana dan ia mengatakan “Pergi saja,
nanti dia akan lupakan kejadian ini.”
Ellyana tersenyum, membereskan
nota-nota, mematikan laptop, menyambar handpone
dan tas kerjanya, “Aku sudah siap”.
Harry seolah melihat sebuah patung yang tiba-tiba berjalan, namun ia
melangkah juga disamping Ellyana. Tangan kanan Ellyana melingkar di tangan kiri
Harry, sementara tangan kirinya menarik Sonya untuk turut serta.
Mobil melaju membelah kota yang
padat dan terik. Bertiga.
“Kopi hitam” Mereka memilih makan
siang di kedai yang menyediakan menu
rujak cingur khas Surabaya.
“Jus melon dua.” Seketika Harry
menatap ke arah Ellyana.
“Rujaknya berapa porsi?” tanya
gadis berbaju seragam kotak-kotak yang melayani di kedai itu.
“Tiga.” Jawab Ellyana santai.
Gadis mengangguk kemudian pergi.
“Kenapa tiga, sayang?” tanya
Harry. Melihat ekspresi Ellyana yang seolah tidak mendengar pertanyaannya,
Harry melanjutkan,”maksudku tidak biasanya kamu pesan 2 porsi?”
“Tenang saja, Honey.” Ellyana
membuka krupuk rambak, krupuk yang terbuat dari kulit sapi. “Cobain deh,
gurih..”
Harry mengambil krupuk rambak yang
disodorkan Ellyana, dengan tatapan yang aneh karena Ellyana tampak memberikan
senyum ketika menoleh ke arah kursi disampingnya. “Aku tidak suka Rujak,
Ellya.” Kata Sonya.
Ellyana menatap Harry, ”Cobain dulu, Rujak disini rasanya luar biasa, aku dulu
pernah ngajakin Mama, dan Mama bilang tidak suka rujak, nyatanya beberapa hari
saja Mama ngajakin balik kesini lagi.”
“Aku kan sudah sering kamu ajak
kesini, kenapa harus nyobin lagi?”
“Tapi disini, setiap hari rasanya
beda, Honey. Semakin mantap!” Ellyana mengacungkan jempol dan tersenyum
menggoda.
Harry menyeduh kopi hitamnya
panas-panas, tidak peduli kata-kata Ellyana atau tingkah anehnya. Cafein dalam
kopi hitam memberikan candu yang menenangkan. Ketika rujak cingur juga tersaji,
Harry tidak peduli mau diapakan yang satu porsi disampingnya. Dia nikmati saja
menu khas Jawa timur itu, dengan rasa pedas yang memanaskan telinga dan
ubun-ubun. Ellyana pun tidak banyak berkomentar meskipun menunya tidak berasa
pedas sama sekali. Ellyana sepakat dengan Sonya untuk satu hal itu. Mereka
tidak menyukai aroma cabe apalagi rasanya, yang akan mengganggu perpaduan
bumbu-bumbu yang harum dan gurih menurut Sonya. Rasanya akan mengganggu
kenikmatannya makan menurut Ellyana.
Tiba-tiba hujan turun begitu
lebat.
“Hujan!” Sonya berteriak girang.
Ia mengedipkan mata pada Ellyana berharap persetujuan untuk bermain dengan
hujan.
“Honey, bagaimana menurutmu jika
aku bermain hujan?” tanya Ellyana untuk memastikan jawaban pada Sonya.
“Kamu? Bermain hujan?”
Ellyana hanya mengangkat alis.
Harry tertawa dan
menggeleng-gelengkan kepala, “Aku rasa saat ini aku sedang berkencan dengan
gadis baru remaja.”
Sonya tanpa menunggu jawaban
Ellyana sudah berlari menghambur menerjang lebatnya hujan. Ia berteriak-teriak
mengangkat kedua tangannya dan menengadahkan wajah. Ia berlonjak kegirangan.
Ellyana ingin bebas seperti Sonya, tapi banyak mata yang akan melihat dan pasti
akan menertawakannya. Jika tanpa Harry, mungkin ia tidak akan peduli.
“Ellya,
ayo sini, tinggalkan saja dia disana, kau akan merasakan tiap panah hujan
menembus tubuh dan kepalamu dan memberikan kesegeran yang tiada tara. Kau akan
terhipnotis oleh panah-panahnya.” Sonya berteriak sangat keras, Ellyana hanya
tersenyum.
Ellyana tidak pernah tahu kalo
Sonya begitu bersahabat dengan hujan. Ia terlihat seperti ikan yang baru
dilepas dikolam setelah sekian lama dikurung dalam toples kecil. Ia menyanyi,
entah lagu apa, ia berteriak tapi Ellyana tidak mendengar dengan jelas karena
hujan begitu deras.
Detik berikutnya, cahaya itu
begitu menyilaukan dan begitu dekat. Cahaya yang diikuti suara seperti ledakan
yang begitu memekakkan telinga. Ellyana memejamkan mata dan menutup kedua
telinganya. Namun ia melihat cahaya itu berpilin, mengangkat sesuatu dan
membawanya kelangit. Ia segera menyadari sesuatu, Sonya..
Ellyana menghabur melihat
disekitar kedai, tempat Sonya tadi menari dan berteriak kegirangan. Kosong.
Hanya hujan yang berwarna putih dan semakin deras. “Sonya...” Ellyana mendesis
parau. Dia tak bisa lagi menyembunyikan kegalauan hatinya, kemana Sonya, kemana
petir itu membawa Sonya?
Ketidakpahaman Harry akan apa yang
terjadi dan dialami Ellyana membuatnya hanya bisa memberikan pelukan.
Direngkuhnya bahu kekasihnya itu, “Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang
aku tahu kamu harus tenang, ada banyak rahasia di alam semesta, demikian juga
dihatimu.”
Air mata Ellyana menjadi sederas
hujan yang putih.
***
Satu
bulan sejak kejadian menghilangnya Sonya bersama petir itu, Ellyana berjalan
menyusuri jalan kota yang lurus. Hampir disetiap langkahnya ia membayangkan ada
Sonya disampingnya. Sonya yang selalu riang, yang selalu bercerita, dan yang
selalu kecanduan ice cream. Dengan mengenakan kaus kuning berkerah tinggi dan
berlengan panjang, Ellyana merasa perkembangan dalam hidupnya tak lagi dapat digambarkan,
meskipun hanya seperempatnya. Bahkan sinar yang memancar dari tubuh Sonya tidak
juga kini meredup dibenaknya.
Terkadang Ellyana melihat
seseorang yang duduk di trotoar jalan tanpa alas kaki yang tidak menjadi
perhatian siapapun yang melewatinya. Terkadang beberapa anak kecil yang berlari
menyeberang jalan tanpa takut tertabrak mobil. Terkadang bisikan-bisikan yang
memanggil namannya, atau meneriakkan sesuatu yang tidak dimengerti Ellyana. Terkadang
anjing atau mungkin kucing sebesar anjing yang berlari menabraknya. Terkadang
kabut putih, atau sinar yang tidak ia tahu bersumber dari apa. Ellyana terus
berjalan, dengan dagu yang terangkat dan punggung tegak.
Pemahaman tentang perjalanan hidup
tidak membuatnya sesedih sebelumnya. Saat ini ia telah dapat menerima kenyataan
bahwa orang-orang akan datang dan pergi dalam kehidupannya seperti
bayangan-bayangan yang melintasi ruangan. Sama seperti tante Soffie, dan
berikutnya Sonya.
Diusianya yang semakin matang,
sebuah ekspresi melankolis terpancar dari wajahnya yang cantik. Matanya yang
gelap dan serius menjadi semakin tajam, kepandaiannya yang meningkat cepat
semakin menonjol. Ellyana tumbuh menjadi gadis dewasa yang seolah bisa terbang
ke angkasa bahkan oleh angin yang kecil saja. Ellyana benar-benar telah dapat
menerima anugerah Tuhan yang begitu luar biasa pada dirinya. Ia tidak perlu
merasa ketakutan karena sesuatu yang mengejutkan tiba-tiba hadir dihadapannya.
Atau karena suara rintihan meminta
tolong yang tidak bisa ia jangkau keberadaannya.
Mama pun sudah jauh lebih tenang
dengan keberadaan Ellyana. Tidak ada yang perlu dirisaukan meskipun beberapa
temannya mengatakan Ellyana terlalu pendiam untuk gadis seusianya. Buat Mama
yang terpenting selama yang dilakukan Ellyana tidak merugikan orang lain dan ia
merasa nyaman dengan apa yang dilakukan, lewat saja.
Harry, meskipun ia merasa terlalu
banyak rahasia yang disimpan Ellyana tapi ia cukup bijak untuk memberi ruang
bagi Ellyana untuk menyimpan rahasia itu sampai ia benar-benar merasa perlu
berbagi dengannya. Tidak ada yang perlu diragukan pada diri Ellyana dan itu
yang membuat kasih sayangnya pada Ellyana semakin sempurna.
Harry adalah anak tunggal, Mamanya
sama seperti Mama Ellyana adalah pemilik butik, hanya yang membedakan Mamanya
lebih sering pesiar ke luar negeri untuk mendapatkan barang-barang yang
menurutnya istimewa. Jadilah ia dan Papanya lebih sering tinggal berdua di
rumah. Hal itu sudah terjadi sejak ia masih anak-anak, namun Papanya sama
sekali tidak pernah merasa terganggu dengan kesibukan Mama. Sikap santai
Papanya itu yang mungkin telah diwarisi oleh Harry, dan sikap itu yang pertama
kali membuat Ellyana tertarik, selain karena tampan. Dimata Harry orang-orang
yang dicintainya selalu terlihat sempurna, ia hanya
sedikit bersikap skeptis, dan ia percaya dunia adalah tempat yang adil dan
berharmoni.
Mama justru melihat Harry hampir
sesempurna Fredy, kekurangannya hanyalah karena Mama pernah merasakan jatuh
cinta pada Fredy dan tidak pada Harry. Harry justru merasakan kenyamanan dekat
dengan Mama Ellyana. Perhatian yang terkadang terlewatkan oleh Mamanya telah
diisi oleh Mama Ellyana.
“Tante Rossa kan harus membeli
banyak perhiasan sayang, dan itu butuh ketelitian dan kejelian dalam memilih.
Tidak mungkin kalau hanya melihat katalog, pesan, dan dikirim. Karena itu Tante
Rossa jadi sering keluar negeri. Kalau Mama sudah cukup dengan kolega-kolega
Mama yang mereka sudah paham dengan selera jual Mama.” Kata Mama menanggapi
pertanyaan Ellyana tentang Mama Harry, yang sebenarnya pertanyaan itupun ada di
benak Harry.
“Kenapa Mama tidak punya provider
yang bisa mengerti dan paham selera seperti kolega Tante?” tanya Harry disela
makan siang mereka bertiga di rumah Ellyana.
“Mungkin ada Harry, tapi Mamamu
lebih pas dan yakin jika melihat sendiri barang-barangnya.”
Berbeda dengan Harry yang
merasakan kenyamanan dekat dengan Mama Ellyana, Ellyana justru merasakan
sebaliknya. Meskipun Tante Rossa terlihat amat menyayangi Ellyana tapi Ellyana
penuh kecanggungan saat berhadapan, kendati ada Harry disampingnya.
“Oh God, jadi ini gadis yang telah
memikat hati putraku?”Rossa menyambut Ellyana dengan senyum dan pelukan hangat
ketika pertama kali Harry mengajak Ellyana ke butik Mamanya. “Mama sudak lama
mengenal Mamamu, tapi demi Tuhan Mama tidak tahu kalau Luna mempunyai gadis
secantik kamu. Mamamu wanita yang hebat sayang, lebih dari sekedar super
women” Kecepatan kata-kata Rossa membuat Ellyana hanya tersenyum dan memainkan handphone ditangannya untuk mengusir
kecanggungan. Harry membaca itu semua, “Dan ini adalah Mamaku yang juga cantik dan super women.” Kata-kata Harry disambut
tawa riang Rossa.
“Bagaimana dengan pameran
lukisanmu? I hope succes..”
“Alhamdulilah, Tante..”
“Ohh.. No..No.. Ma-ma, sayang..
jangan Tante, okey?”
“Em.. iya.. Ma..” Ellyana melirik
pada Harry, seolah memohon pertolongan untuk tidak terjebak situasi seperti
ini.
Rossa menuangkan teh kayu manis ke
dalam tiga gelas, mengadukkan gula dan es dengan sendok yang panjang. Ia
mengambil sepiring manisan buah pala “ Ayo, cobalah, ini makanan kesukaan Mama.”
Ellyana mengambil sebuah, dan
menggigitnya seujung kuku. Dan ia merasakan rasa pahit bercampur aroma yang
menyengat seperti minyak kayu putih. Gula yang meluluri manisan itu tidak
banyak menolong rasa. Bagaimana ia harus menghabiskan manisan ini?
Sementara Rossa terus saja
bercerita tentang Harry, tentang perhiasan-perhiasan di butiknya, tentang
Paris, Hongkong, sementara Ellyana
kerongkongannya terasa tercekat oleh cemilan minyak kayu putih.
“Mama terlalu cepat membuka rahasia
kita, biarlah Ellyana mengetahui beberapa hal sendiri. ”Harry mencoba menyelamatkan Ellyana. “Ayo sayang, aku
tunjukkan sesuatu di atas”. Harry menarik tangan kiri Ellyana.
“Permisi Ma” Ellyana canggung
namun merasa bersyukur atas pertolongan Harry. Segera ia mengikuti langkah
Harry. Meninggalkan Rossa yang masih tersenyum sendiri di sofa.
Harry mengambil manisan dari
tangan Ellyana, membungkusnya dengan tussue dan melemparkan di keranjang
sampah. Ellyana mengerjap-ngerjapkan mata. “Bagaimana Mama bisa menyukai makanan
seperti itu?”. Berdua mereka tertawa.
“Apa yang akan kamu tunjukkan,
Honey?”
“Nothing, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku juga tidak suka
manisan itu.” Harry merengkuh pinggang Ellyana, dan mendekatkan kebadannya. Ellyana
tersenyum namun mengelak dari rengkuhan Harry.
“Ini ruang kerjamu,
Honey?”
Harry seperti membaca pikiran Ellyana, diraihnya tangan kekasihnya dan
dicium ujung jarinya dengan lembut. Kini raut muka Ellyana bersemu merah.
“Jadilah istriku” kata-kata itu
begitu pelan terdengar di telinga Ellyana namun telah menggetarkan hatinya.
Detak jantungnya kini terpacu cepat. Waktu memberi jeda dalam diam.
Ketika dirasakan tatapan mata Harry
hanya berjarak tak lebih dari tiga jari dengannya, Ellyana mencoba mencoba
mengalihkan sebuah gairah yang membuat jantung Harry pun berdetak cepat, ”Apa
menurutmu Mama Rossa akan menerimaku, Honey?”
“Kurasa ia akan memujamu, seperti
aku, Sayang”
Ellyana tertawa dan memeluk Harry,
namun ia tidak memberikan jawaban apapun.
Hingga kini.
Telah satu tahun lewat, Harry
tetap menunggu jawaban dari Ellyana. Tak sedikitpun ragu di hati Ellyana untuk
menerima Harry menjadi pendampingnya, namun bagaimana dengan Mama Rossa?
Ellyana tidak pernah mengerti kenapa setiap kali Rossa berbicara padanya selalu
diikuti suara bisik-bisik yang Ellyana tidak tahu suara apa itu. Seolah suara-suara itu
berusaha menutupi pembicaraan Rossa agar tidak terdengar Ellyana. Terkadang
Ellyana melihat sinar mata Rossa yang penuh kebohongan.
“Jangan buruk sangka, Sayang. Mama
Rossa hanya berusaha untuk menyayangimu seperti dia menyayangi putranya
sendiri.” Kata Mama ketika Ellyana mengungkapkan keraguan akan ketulusan rasa
sayang Rossa.
“Ellyana hanya takut, Mama Rossa
berpura-pura menerima Ellyana, tapi sejatinya ia tidak suka sama Ellyana.”
“sssttt.. jangan sampai
kata-katamu itu didengar Harry, Ellya. Apalagi Mama Rossa.” Mama meletakkan
gaun-gaun yang tengah ia periksa kualitasnya, lalu duduk disaping Ellyana, sore
itu di butiknya. “Kamu harus berusaha untuk bisa menerima seseorang, siapapun
yang akan terlibat dalam kehidupanmu. Kamu harus bisa menerima setiap
kekurangan seseorang yang akan dekat dengan hidupmu. Menerima seseorang dalam
kehidupanmu tidak harus menjadikan seseorang itu seperti seharusnya. Mungkin
kamu melihat ketidakseharusan itu, tapi kamu tidak harus berjuang untuk
menjadikan sesuatu menjadi seharusnya.” Mama menatap Ellyana yang semakin
sempurna kecantikannya dengan aura kedewasaannya.
“Paham maksud Mama, Sayang?”
Ellyana hanya memberikan anggukan
dan menyandarkan kepalanya pada bahu Mama. Ragu ia mengungkapkan sesuatu, “Apa
Mama tahu tentang ....”
“Tidak perlu dibahas, Sayang.
Setiap orang punya hak untuk mengatur dan menata kehidupannya sesuai warna
dihatinya.” Mama membelai rambut Ellyana dan memberikan kecupan sayang.
“Ellyana sayang Mama..”
“Me too..”
Ada embun di mata Ellyana ketika
mengingat Mama. Sungguh Ellyana tidak mau berpisah dengan Mama. Hanya Mama yang
bisa mengerti Ellyana, hanya Mama yang selalu bijaksana dalam segala hal, hanya
Mama yang selalu memayunginya dengan doa-doa, yang punya seribu satu kisah
cinta, hanya Mama..
Cukuplah satu kisah cinta untuk
ku, Mama.
***
Langganan:
Postingan (Atom)