Senin, 24 November 2014

catatan

Jangan terlalu mengejar nilai, ijasah, nanti kita lupa hakikat belajar yang sebenarnya.
Jangan terlalu mengejar hasilnya, nanti kita lupa hakikat kesuksesan yang sesungguhnya.
Jangan terlalu mengejar kemenangan, piala, trophi, nanti kita lupa hakikat pertandingan.
Jangan terlalu mengejar kehidupan, materi, nanti kita lupa hakikat hidup ini sendiri, dan lupa melaluinya penuh kesyukuran.
Dan terakhir, my dear, jangan terlalu mengejar seseorang, memilikinya, nanti kita tidak akan pernah paham hakikat memiliki sebenarnya.
*Tere Liye

Catatan

Saat bertemu..
Siapa yang menunggu, siapa yang datang
Jika dua-duanya sama sama senang

Saat berpisah..
Siapa yang pergi, siapa yang ditinggal,
Jika dua-duanya sama sama terluka

Entahlah..

Rabu, 05 November 2014

Langit Berwarna Ungu

|cerita ini kutulis untuk bintang-bintang di langit hatiku yang selalu berpijar|



                                          
Langit berwarna ungu
shakuntala


Langit berwarna ungu.
Sinar yang terlalu terang dan menyilaukan. Putihkah? Tidak, bukan sinar putih, bukan sinar matahari yang terang disiang hari. Disini malam, langit berwarna ungu, udara pun terasa menebar warna lembayung menyentuh permukaan kulit dan telapak tangan. Juga bukan sinar rembulan yang lembut, tapi sinar yang tajam, silaunya seolah ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepala. Jarum  itu telah sempurna menancap pada setiap pori-pori di kepala Ellyana. Kedua tangannya tak lagi menutup mata untuk mengurangi silau, namun memegang kepala dan menarik-narik rambutnya, melepaskan ribuan jarum yang menancap di setiap tempat rambutnya bertumbuh. Kesakitan yang luar biasa, jarum-jarum itu telah memutus pita suaranya. Teriakannya kosong, Ellyana mengerang, meronta, tapi hanya air mata yang merembes dari kedua sudut matanya.
            Dimanakah aku? Tempat ini tidak pernah aku temui sebelumnya. Tempat yang hanya ada warna violet dan sinar terang yang menyakitkan. Dimana Mama? Kenapa aku sendiri? Dan rasa sakit ini, darimana ribuan jarum yang tertancap di kepalaku, apa yang menghimpit dadaku hingga nafasku terasa sesak dan apa yang menindih perutku. Sakit. Sakit sekali. Dimana Tuhan? Mama pernah bilang Tuhan akan selalu ada setiap saat, setiap detak jantung, setiap kita butuh. Sekarang aku butuh Tuhan, untuk melepaskan aku dari semua ini.
Kesakitan yang terus mendera, kakinya terasa terikat pada batu besar, hingga tak dapat berlari menjauhi tempat itu. Ellyana hanya bisa berharap Tuhan ada, dan Tuhan akan menolongnya.
Tiba-tiba, sinar yang menyilaukan itu berangsur meredup, menyisahkan warna lembayung. Jarum-jarum di kepalanya telah tercabut, lenyap bersama sinar itu. Udara segarpun mengisi dadanya, hingga jantung dan paru-parunya tak lagi terasa sakit. Sayup terdengar suara Mama memanggilnya, namun Ellyana belum juga menemukannya dimana.
“Ellyana.. ini Mama sayang”
“Ellyana..”
“Ellyana, dengar Mama, Ellyana harus kuat, HARUS KUAT.”
Mama.. Mama dimana? Kenapa Ellyana hanya mendengar suara Mama. Ellyana kenapa Ma, kenapa harus kuat?
Ellyana terus mencari, melihat detil setiap warna lembayung yang menyelimutinya. Adakah Mama disana. Dicoba untuk menggerakan tanganya, menyentuh warna lembayung di depan dan di sekitar tubuhnya, namun hanya warna lembayung yang tertangkap. Di mana Mama? Dicoba untuk mengingat kembali, apapun yang bisa diingat. Rumahnya? Ellyana ingat, ia tinggal bersama Mama, hanya dengan Mama yang sangat menyanyanginya. Mama yang selalu ada di dekatnya setiap kali ia membuka mata. Mama yang selalu membawakan makanan disaat ia lapar. Tapi sekarang di mana Mama? Sekolahnya? Ellyana ingat, ia punya banyak teman di sekolah, ia juga punya sahabat yang sangat cantik, Priza, gadis berkacamata yang selalu mengenakan bandana di rambutnya. Tapi dimana Priza?
Dicobanya mengingat kemana sebenarnya ia pergi  hingga terjebak di tempat yang hanya ada lembayung dan sinar yang menyakitkan tadi. Ellyana tidak menemukan jawaban, justru kekhawatiran muncul di benaknya, bagaimana jika sinar itu datang lagi, kemana ia harus berlindung, kemana ia harus berlari, di mana Mama, di mana Tuhan?
Ellyana merasakan sesuatu seperti menusuk  di kerongkonganya, sesuatu yang telah membuatnya tidak bisa berteriak memanggil Mama. Setelahnya, seperti burung garuda tapi terlihat begitu besar dan sayapnya tampak indah. Sayap yang  begitu halus dan lembut,  sayap yang membentang seolah akan melindungi Ellyana dari sinar dengan jarum-jarum itu. Hijau. Ellyana berhail menemukan warna lain didekatnya yang tidak hanya lembayung. Tapi apakah itu? Lalu selaksa bintang yang begitu dekat. Beribu, atau berjuta jumlahnya. Entahlah,  Ellyana bahkan tidak tahu, apakah ia harus takut atau ia harus senang dengan alam dan ornamen-ornamen yang terlihat indah dan aneh.
Mama pernah bilang, bintang itu letaknya jauh dilangit sehingga terlihat sangat kecil dan seolah dapatlah kita menggenggamnya. Tapi disini, bintang terlihat sangat dekat, dan tak mungkin tangan Ellyana yang mungil akan menggenggamnya. Jika Ellyana dekat dengan bintang-bintang itu, apakah Ellyana berada di langit, Mama? Siapa yang membawa Ellyana kesini? Ataukah burung garuda bersayap hijau nan indah itu?
Ellyana rindu Mama. Ellyana hanya mau ada Mama disini. Ellyana mau pulang, Tuhan. Ellyana mau di dekat Mama.
Mama... Mama.. Mama... Mama...
Suara itu hanya menggema di hati Ellyana. Tapi Ellyana yakin Mama pasti mendengar suara itu, karena Mama pernah bilang, kalau Mama selalu tahu apa yang ada di hati Ellyana, meskipun Ellyana tidak mengatakan atau berteriak-teriak.
“Ellyana... Mama disini sayang. Mama pegang tanganmu, dan Mama ciumi pipimu. Bangunlah Ellyana sayang..”
“Mama... Mama.. Ellya mau sama Mama, tapi Ellya tidak tahu bagaimana caranya. Kenapa Tuhan tidak menolong Ellya, Ma? Padahal Ellya kan sudah sholat. Apa ada bacaan sholat Ellya yang terlewat ya Ma, jadi Tuhan marah dan tidak mau menolong Ellya. Tapi kata Mama bacaan sholat Ellya sudah benar. Kalau Tuhan sayang, Tuhan harus tolong Ellya.”
“Ellyana sayang.. Ellya masih ingat kan dua kalimat syahadat, ayo dibaca sayang.. Ellyana harus tahu bahwa Tuhan sayang Ellya..”
“Mama.. Benar. Ellya bisa Ma: ashaduallah-illa-ha-illallah-wa-ashaduanna- muhamadarosulullah..”
Ellyana mengulang-ulang bacaan itu, dengan mata yang terus terpejam. Hati Ellyana lebih tenang sekarang, karena ia yakin Mama ada didekatnya, dan Tuhan pasti menolongnya. Ellyana terus membaca, hingga lelah dan tertidur.

***


Adzan subuh.
            Ellyana mendengar adzan itu, perlahan dibukanya matanya. Dan.....Serasa ingin melonjak ketika Ellyana mendapati samar-samar ada Mama didekatnya. Mama dengan tatapannya yang penuh sayang memegang tangan Ellyana dan menciumnya.
“Terima kasih Tuhan...” bisik Mama lembut, dengan air mata yang menggenang di kedua matanya.
“Mama..” Suara Ellyana mengembun.
Ellyana menatap disekeliling. Tidak ada lagi lembayung, tidak ada lagi garuda hijau dengan sayap nan halus, tidak ada lagi bintang yang sangat dekat. Yang ada adalah cairan infus yang menggantung lengkap dengan selang yang tertancap di tangan kanannya. Tabung oksigen dengan ujung selangnnya yang bercabang dua yang ditempel di lubang hidungnya, sesuatu seperti dot berlubang dari plastik yang sangat tebal dimulut yang dilekatkan dengan plaster dan Mama didekatnya, perawat, dokter dan dinding yang separoh kebawah bernuansa porselen hijau.
Seorang perawat menyingkirkan selang oksigen yang ada di hidung dan membuka dot berlubang itu. Lega rasanya, karena aku bisa memangil “Mama” dengan sempurna. Mama mengusap pipiku, membersihkan sesuatu di sekitar hidung dan mataku. Mama yang selalu sayang, Mama yang selalu ingin aku terlihat cantik.
“Apa yang terasa sakit sayang..?” tanya Mama dengan rasa haru.
“Kepala Ellya sakit Ma, dada, dan perut. Tapi sekarang sudah gak lagi Ma. Ellya kenapa Ma?”
“Kamu tiba-tiba pingsan sayang, Mama juga tidak tahu kenapa. Tapi sekarang semua sudah lewat, Tuhan sudah menyembuhkan Ellya.”
Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Aku juga tidak mengerti kenapa aku pingsan. Kalau sakit kepalaku pasti karena sinar yang berjarum itu. Tapi pingan? Mungkin pada saat aku terbang ke langit dengan burung garuda hijau itu. Ah..kenapa aku tidak mengambil satu bintang itu untuk Mama?
“Ma.. maafin Ellya ya..”
“Kenapa minta maaf sayang?”
“Ellya tadi lupa tidak mengambil bintang itu untuk Mama..”
Mama terlihat tercekat. Tapi Mama tidak pernah terlihat takut oleh apapun, dan itulah kekuatanku.
“Bintang, sayang?”
Aku mengangguk, “Iya Ma, kata Mama bintang itu jauh, tinggi di langit, sehingga terlihat kecil. Tadi Ellya melihat bintang itu dekat dengan Ellya, banyak Ma, tapi tangan Ellya tidak cukup untuk menggenggamnya, sekalipun dua tangan. Jadi Ellya tidak bisa membawakannya buat Mama.”
Mama tersenyum, namun terlihat air mata itu kembali menggenang di matanya. Mama memelukku erat, aku tahu Mama tidak mau lagi berpisah denganku, sama seperti juga aku, Ma. Bahkan saat ini, ketika mataku berat sekali aku takut untuk terpejam. Aku takut jika aku bangun lalu aku berada di tempat berwarna lembayung itu lagi, tanpa Mama.
“Ellya tadi dimana Ma?”
“Di Rumah Sakit sayang.”
“Bukan Ma. Maksud Ellya tadi sebelum Ellya terbangun, Ellya berada di tempat yang hanya ada warna lembayung dan sinar yang terang menyilaukan. Ellya sendiri, Ma.”
“Ellya tidak sendiri sayang, ada Mama di dekat Ellya, dan ada Tuhan. Mungkin Ellya berada di langit, dekat Surga Allah. Bukankah Ellya bilang dekat dengan bintang-bintang itu.”
Aku mengangguk, “Mama tahu siapa yang membawa Ellya ke langit?”
“Siapa sayang?”
“Burung garuda hijau, Ma”
“Burung garuda hijau?” kali ini dahi Mama berkerut, pasti Mama lagi membayangkan burung garuda seperti yang didinding sekolah Ellya tetapi dengan berwarna hijau, bukan warna emas. Lalu Mama tersenyum dan mencium keningku.
“Sayapnya lebar Ma, jadi bisa membawa Ellya terbang tinggi ke langit.”
Ellya, kalau saja kamu tahu, bahwa Mama seolah telah berebut nyawa dengan Tuhan pada saat kau sakit. Dan sekarang kau kembali dengan ceritamu tentang bintang dan burung garuda hijau. Keajaiban apa yang telah diberikan Tuhan pada perjalananmu, Nak.

***



Ellyana... Ellyana...” Suara itu hanya samar-samar tertangkap telinga Ellyana, tapi Ellyana tahu ada yang memanggilnya. Diilihatnya sekeliling, Ellyana melihatnya berdiri di kaki tangga di ruangan sempit yang bermandikan cahaya dari bohlam telanjang. Di kedua sisi ruangan itu tampak pintu, entah menuju kemana, Ellyana belum mengenali ruangan ini. Dia seorang gadis seumurnya, rambutnya berwarna emas seperti rambut boneka Berbie yang Ellyana punya di rumah.
“Kamu siapa?” tanya Ellyana ragu karena terlihatnya gadis itu hanya samar-samar, mungkin karena sinar bohlam dibelakang gadis itu.
“Julie.”
“Julie? Apa aku mengenalmu? Bagaimana kau tahu namaku?”
Sinar di belakang gadis itu semakin terang dan semakin terang hingga yang tampak kini hanya pendar warna yang seolah memancar dari ratusan bohlam diruangan itu. Tak tampak lagi gadis itu. Ellyana ingin mencari ke ruangan itu, tapi selang infus di tangannya menghalanginya untuk turun dari ranjang. Teringat sinar dengan ribuan jarum yang menusuk-nusuk kepalanya, Ellyana mulai ketakutan dan panik.
“Mama..!!!” Teriak Ellyana sekuat tenaga.
“Ya sayang..” ujar Mama lembut sambil memegang tangan Ellyana “Kamu mimpi sayang?” Mama berusaha menenangkan.
“Iya Ma.” Ellyana lega karena ia terhindar dari sinar dan jarum itu, terlebih karena ada Mama disampingnya. “Ellyana takut sinar itu datang lagi Ma.”
“Sinar apa sayang?” Mama tampak sangat khawatir, meskipun dia masih berusaha membuatku tenang.
“Sinar yang membuat kepala Ellyana sakit sekali, Ma..”
Butuh waktu beberapa saat untuk menenangkan Ellyana. Mama sebenarnya juga tahu sinar apa yang dimaksud Ellyana, namun Mama menangkap ketakutan itu di wajah Ellyana. Pelukan Ellyana semakin erat bahkan terasa sakit di leher Mama.
“Sekarang ceritakan apa saja yang Ellyana temui di mimpi.” bisik Mama, membiarkan Ellyana melepaskan sendiri pelukannya.
Ellyana mulai bercerita tentang sinar dan jarum-jarum itu, tentang warna lembayung, burung garuda hijau, bintang-bintang yang nampak begitu dekat, tentang ruangan di belakang tangga, juga tentang Julie.
Ellyana sudah tidak sanggup lagi menahan tangis, dia mulai terisak demikian kerasnya, karena ketakutan, karena kekhawatiran sesuatu yang akan menyakitinya lagi melalui mimpi-mimpinya. Mama tidak pernah menduga tentang apa yang dialami Ellyana. Selama ini semua baik-baik saja. Ellyana tak ubahnya anak-anak seusianya yang lincah, kreatif, suka bernyanyi, menari, membaca, melukis. Sekarang Ellyana bercerita tentang mimpi-mimpi yang membuatnya ketakutan, sungguh sulit dipercaya. Mama kembali memeluk Ellyana erat, meskipun hal itu hanya membuat tangisnya semakin menjadi.
Mama mulai kesulitan untuk menenangkan putri kecilnya, karena hatinyapun galau dan penuh ketidakpahaman akan apa yang dialami Ellyana. Seminggu yang lalu, Ellyana tertidur pulas selama kurang lebih 48 jam. Suatu hal yang tidak lumrah untuk anak yang dalam kondisi baik-baik saja tanpa ada pengaruh penyakit ataupun obat-obatan.
Hanya Tuhan yang tahu apa sebenarnya yang dialami Ellyana. Saat ini, kondisi Ellyana seperti tidak mengalami sakit apapun. Hanya ketakutan akan mimpi-mimpi itu yang membuatnya mengalami trauma. Ellyana tidak mau memejamkan mata, dan baru terlelap setelah perawat menyuntikkan obat tidur melalui selang infusnya.
Mama tidak pernah beranjak dari sisi Ellyana, kecuali ada seorang yang bisa dipercaya menjaga putrinya. Itupun hanya untuk ke kamar mandi atau sholat. Mama lebih memilih terlelap disamping ranjang Ellyana dengan tangannya yang teris menggenggam tangan Ellyana. Namun sebisa mungkin Mama tidak akan tidur pada saat Ellyana tertidur. Mama ingin setiap saat, setiap mimpi-mimpi itu mendatangi Ellyana, ia ada dan siaga untuk menolongnya. Pada saat kelopak mata Ellyana bergerak berputar-putar dengan cepat dalam lelapnya, artinya Ellyana tengah bermimpi. Entah apa mimpinya, tapi Mama berusaha membuyarkannya. Namun hal itu berulang kali terjadi setiap kali Ellyana terlelap. Masih seputar Sinar yang menyakitkan, warna lembayung terkadang, dan teman mimpinya, Julie.
***



Malam yang hampir lewat
Ini adalah persalinan selama 20 jam. Saat-saat menunggu kelahiran bayi pertama, bayi yang nanti akan terlahir tanpa kehadiran sang ayah. Disini, di kamar ini hanya ada Luna dan sang bidan. Luna tampak sangat cemas dan kesediahan menggantung di matanya. Siapapun wanita di dunia ini selalu berharap ada lelaki yang dicintai saat berjuang dengan bayinya seperti saat ini. Sangat berharap tatapan mata dan genggaman tangan yang akan memberikan bantuan kekuatan lahir dan batin. Tapi Luna hanya sendiri, Fredy tidak sabar menunggu buah hatinya lahir dan telah pergi selamanya pada kecelakaan 3 bulan yang lalu.
Harusnya persalinan ini masih sekitar 25 hari lagi, namun kondisi batin Luna yang sangat labil karena kepergian suaminya telah membuat bayinya resah dan  ingin segera menemani Luna di dunia. Fredy pergi tanpa meninggalakan tanda atau pesan apapun. Hanya bayi dalam kandungan Luna yang kelak akan menjadi kenangan dan buah dari cinta mereka berdua selamanya.
Berbagai rasa bercampur aduk saat ini. Walaupun Luna sangat bersemangat karena akan menjadi ibu dan ingin segera melihat hasil cintanya dengan Fredy namun ketidakhadiran suaminya sangat merisaukan. Tidak pula adiknya, Soffie. Bidan yang sudah berusia lebih setengah abad itu, tampak tenang dan begitu sabar menunggu kelahiran sang bayi. Berkali-kali diusap peluh di kening dan leher Luna, dibuatkan teh hangat untuk Luna yang mungkin bisa mengganti tenaga yang keluar karena menahan rasa nyeri yang berulang-ulang. Gerakannya gesit namun sangat hati-hati. Pengalaman membantu kelahiran lebih dari 3000 bayi membuatnya sangat profesional dalam hal ini.
Pinggul Luna yang tidak terlalu lebar membuat rasa nyeri mendera disekitar pinggul. Luna merasa seolah akan terbelah, seperti kacang polong yang pecah. Luna menjerit kesakitan dan air matanya tumpah ruah. Mungkin rasa sakit yang mendera karena persalinan dan rasa sakit di hati karena kerinduan.
Tepat jam 3 dini hari, bayi mungil keluar, “Perempuan Luna” kata bidan itu dengan tangan gemetar, karena sungguh ia pun merasa khawatir dengan kelahiran bayi ini karena Luna yang telah cukup lama kesakitan dan tampak putus asa.
Luna hanya tersenyum, ia merasakan rahimnya kosong, dan hatinya pun lebih dari hampa. Luna teringat apa yang pernah dikatakan Fredy, sebelum bayi itu bertumbuh diperutnya, “Kelak, dari rahim ini akan terlahir bayi perempuan mungil yang ia akan tumbuh menjadi gadis yang luar biasa, Ellyana namanya.” Fredy mengelus perut Luna yang masih hampa, tanpa bayi. Air mata Luna kembali menetes, mengenang cinta dan kerinduannya. “Ellyana.”
Sang bidan memukul pantat bayi itu, pelan. Berikutnya agak keras, tapi bayi itu tidak menangis. Tidak juga membuka mata. Tapi dadanya bergerak-gerak perlahan tanda paru-parunya telah menghirup udara. “Kenapa dia?” tanya Luna khawatir.
“Tidak mau menagis, mungkin kelelahan karena terlalu lama di jalan lahir. Dia cantik, Luna.” Sang Bidan mendekatkan bayi itu pada Luna. Luna menatapnya sepenuh hati dan menyentuh lembut bibirnya yang sangat kecil dan mengatup rapat. Terlihat tanda lahir, tanda itu terdapat di dahi, di antara kedua mata, sedikit agak di atasnya. Tanda yang seperti bekas pukulan yang membekas dalam dengan warna agak gelap samar. Sama seperti tanda lahir yang dimiliki Fredy. Luna mengusap tanda lahir itu, lalu mengecupnya lembut, “Kamu akan jadi gadis yang luar biasa, seperti yang Papamu pernah katakan, Ellyana sayang.”
Ellyana bayi masih juga tidak menangis. “Coba dekatkan puntingmu, barangkali ia mau menetek” saran sang bidan. Luna mencoba. Ellyana tetap mengatupkan bibirnya, pun matanya tetap terpejam. “Tak apa meskipun dia tidak menangis, aku yakin dia baik-baik saja, biarkan dia tidur disampingku.” Luna menyerahkan Ellyana bayi pada sang bidan. Luna pun tertidur karena lelah.
Entah sudah berapa lama Ellyana tertidur. Disampingnya kini sudah ada Soffie,adiknya, dan sang bidan sudah pulang. Ellyana bayi yang dibungkus kain fanel hijau muda dengan motif bunga-bunga hanya terlihat bagian mukanya yang mungil. “Kakak baik-baik saja?” Soffie mencium kening Luna.
Luna mengangguk dan berusaha untuk duduk. Terasa nyeri diperut dan di jalan lahir. Soffie membantu dengan meletakkan bantal dibelakang dipunggung Luna, lalu Ellyana diangkat dan diletakkan dipangkuan Luna yang juga dialas bantal. “Apa dia hanya tertidur sejak tadi?” tanya Luna sambil mengusap alis Ellyana yang hanya terlihat samar-samar.
Soffie mengangguk, “Bidan tadi pesan, kalau kakak sudah bangun, si kecil juga harus dibangunkan. Seandainya tidak mau menetek, coba menetesi madu di melutnya menggunakan kain kassa, atau disuapi susu formula pakai sendok kecil. Sudah disiapkan semua di meja, dia janji nanti sore akan kembali lagi.”
“Namanya Ellyana, Soffie. Ellyana Liandra Fredinio.” Luna masih menatap Ellyana. Mengamati hidungnya, bibirnya yang merah dan kecil, tanda lahir merah, dan pipinya yang tembam. Ellyana merasa diperhatikan dan merasakan detak jantung yang sama seperti ketika masih dikandungan membuatnya mengeliat dan berusaha menggerakkan tangannya. Tapi kedua tangannya terbungkus dan Ellyana berusaha meronta dan menangis. Tangis bayinya yang memang sudah sangat diharapkan. Luna dan Soffie tersenyum menyambut tangisan Ellyana. Kedua mata bayinya terbuka. Bola mata hitamnya tampak bulat dan hanya menyisahkan sedikit ruang untuk warna putihnya. Tatapan mata bayinya menghujam tepat pada mata Luna. Luna takjub akan hal ini, namun Luna tersenyum untuk menunjukkan kasih sayangnya pada Ellyana. Dalam hati Luna bertanya, kenapa Ellyana yang  masih berumur beberapa jam sudah dapat melihat dengan tatapan mata yang sangat fokus.  “Aku melihat diri kami dalam dirinya, bukan diriku, juga bukan dirinya, tapi aku dan Fredy.” Bisik Luna.
Soffie menitikan air mata, antara rasa bahagia dengan kehadiran Ellyana mungil dan rasa haru melihat ketabahan yang dipaksakan oleh kakaknya. Soffie mencium pipi Ellyana, “Kau adalah mukjizat Mamamu, sayang.”
Malam ini adalah malam pertama kehadiran Ellyana di rumah ini. Sang bidan yang entah karena ingin memastikan kondisi Luna malam ini baik-baik saja atau karena Ellyana yang menurut dia sangat istimewa, malam ini dia memutuskan untuk tinggal di rumah ini. Soffie tentu saja sudah siap menjaga Ellyana semalaman karena dia tahu kondisi Luna yang masih lelah dan sakit.
Namun pagi harinya, mereka bertiga menyadari bahwa Ellyana sama sekali tidak merepotkan mereka. Bahkan pagi inipun ia terbangun hanya dengan senyum yang menggemaskan. Sang bidan menggendong dan meminumkan susu menggunakan sendok. Ia memperlakukan Ellyana seperti cucu sendiri. Bibir Ellyana mengecap susu dengan menggerak-gerakkan bibir dengan lucu. Sungguh menggemaskan. Sementara Luna dibantu Soffie membersihkan badannya dengan air hangat. Sang bidan telah menambahkan aroma theraphy pada air hangatnya. Luna memejamkan mata dan menghirup aroma itu dalam-dalam, serasa memulihkan segala ketegangan, kekhawatiran dan kesakitannya. Merasakan kembali kerinduannya, rasa yang selalu saja tidak pernah bisa dihindari.
Juga rasa sepi.
                                                                     ***



Lukisan hasil coretan.
Sebuah pemandangan dengan laut yang membentang. Tanpa gunung atau pepohonan. Hanya laut berwarna biru, bersembur warna putih yang tidak beraturan, mungkin yang dimaksud adalah ombak yang bergulung. Selebihnya hanya coretan warna ungu dan abu-abu. Lebih banyak warna ungu.
Lukisan lain, mungkin sawah, mungkin padang rumput yang membentang. Warna hijau muda dan hijau tua bersembur warna kuning yang juga tidah beraturan. Mungkin padi atau rumput yang menguning. Selebihnya adalah langit dengan warna ungu dan abu-abu. Lebih banyak warna ungu.
Lukisan yang juga tertempel disebelahnya, seorang gadis kecil yang duduk dihamparan rumput, mungkin menggambar diri sendiri atau sesseorang. Menggenakan gaun panjang hingga tak tampak kedua kakinya, rambut lurus sebahu dengan hiasan mungkin serupa pita atau jepit rambut yang tidak jelas berbentuk seperti apa. Di belakang gadis itu, coretan warna ungu memenuhi seluruh permukaan kertas. Hanya warna ungu.
Lukisan-lukisan itu ditempel di dinding ruang tengah. Masih ada beberapa lagi yang tidak jelas lukisan apa, hanya coretan warna-warna yang didominasi warna ungu, abu-abu dan biru tua. Luna memperhatikan lukisan atau tepatnya coretan-coretan warna itu. Ellyana, pada tahun ke dua perkembangan mulai suka membuat coretan-coretan. Terkadang tergambar sebuah lukisan, namun tak jarang hanya paduan warna warni di atas kertas. Namun selalu saja ada yang Ia ceritakan dari setiap coretan itu.
Luna meskipun tidak sepenuhnya memahami arti coretan itu, namun ia sangat menghargai hasil karya Ellyana, dan disediakan dinding di ruang tengah untuk menempel karya-karya itu. Awalnya Luna hanya ingin membuat Ellyana bangga dengan apa yang telah diciptakan, tanpa terpikir apapun dari coretannya itu. Namun, setelah seorang temannya yang berkunjung ke rumahnya mengamati lukisan Ellyana dan menyarankan untuk menanyakan dan menunjukkan hasil coretan Ellyana pada seorang psikolog, barulah Luna menyadari bahwa memang ada yang aneh atau khusus dalam coretan itu.
Warna ungu.
Tetapi dalam hati Luna hanya mengagumi, menganggap warna itu hanya sebagai warna kesukaan Ellyana. Terkadang Ellyana mengatakan dirumahnya penuh dengan kabut berwarna ungu, dan Luna hanya memberikan senyuman.
Imajinasi Ellyana mungkin terlalu mendominasi, kemampuan berimajinasi ruang dengan ide-ide imajinatif yang selalu tertuang dalam hasil-hasil coretan dengan warna. Ellyana memang tidak begitu suka berkreasi dengan bentuk kongrit, seperti puzzle atau lego. Mungkin karena dia tidak bebas menuangkan ide yang ada dalam imajinasinya. Lukisa-lukisan Ellyana menurut Luna adalah sangat istimewa meskipun ada beberapa lukisan yang ketika Ellyana menceritakan terdengar aneh dan sangat imajinasi.
Sebuah lukisan rumah dengan pintu ruang tamu yang diliputi kabut berwarna ungu. Tanggga yang berbelok dan seolah tanpa ujung, menurutnya tangga itu akan memanjang atau memendek tanpa bisa dikendalikan oleh siapapun yang melewatinya. Ellyana juga mengatakan rumah itu selalu diliputi hawa dingin karena kabut yang mengitari disekitar rumah. Namun diujung pandangan dalam rumah itu terdapat sembur warna kuning emas, yang menurut Ellyana adalah pemilik rumah itu.
“Siapa pemilik rumah itu, Ellya?”
“Seorang gadis, Ma.”
“Lalu..”
“Dia tinggal sendiri, Mamanya tidak pernah mau bersuara sejak Papanya meninggal, yang kemudian tak lama setelahnya Mamanya juga meninggal.”
Luna merasakan seolah semua yang diceritakan Ellyana adalah kisah nyata, “Siapa namanya?”
Ellyana hanya menggangkat bahu kemudian menambahkan sebuah coretan warna ungu disekitar warna emas, lalu menempel lukisan itu didinding dekat tempat tidurnya. ”Dia akan menjadi temanku, suatu hari nanti..”
***

Ellyana sedang memusatkan perhatian pada mobil itu, mengamatinya menghilang di kejauhan. Julie yang berdiri disampingnya juga melakukan hal serupa dengan ekspresi kesedihan tergurat diwajahnya. Saat ini Julie telah menjadi teman dalam mimpi-mimpi Ellyana. Julie yang telah menunjukkan pada Ellyana tentang banyak hal yang kemudian hal tersebut benar-benar ditemui dalam dunia nyata di luar mimpi Ellyana.
Awalnya Ellyana tidak mempercai hal tersebut, tetapi setelah beberapa kali terbukti bahwa apa yang tampak dalam mimpinya ketika bersama Julie akan sungguh-sungguh terjadi setelahnya.
“Apa yang harus aku lakukan dengan mobil itu?” tanya Ellyana dengan penuh keraguan.
Julie hanya menggelang. Dia menatap Ellyana lamat-lamat. ”bukan kau yang menjadi sutradara dari semua kejadian ini, Ellya.”
“Lalu untuk apa kau tunjukkan, jika aku hanya bisa menyaksikan tanpa berbuat apa-apa?” Ellyana mulai gusar, karena ia tahu pasti siapa pengemudi berbaju biru yang ada di dalam mobil itu.
“Kelak mungkin bisa, tapi tidak untuk saat ini.” Julie menggenggam tangan Ellyana, lalu pergi meninggalkan Ellyana dengan segala kegalauan dihatinya. Ellyana bergeming dari tepatnya berdiri. Mobil itu sudah tidak nampak lagi, hanya meninggalkan gurat warna lembayung di langit kota sore itu.

***


Kejadiannya .
            “Mama tunggu di mobil sayang.” Mama meneriaki Ellyana yang masih mematut diri di depan cermin di kamarnya. Bukan mengamati  baju yang dikenakan atau hiasan di rambutnya, tapi Ellyana merasa akan terjadi sesutu sore ini.
Ellyana menghela nafas dan masuk ke dalam mobil dengan sangat enggan. “Apa tante Soffie jadi nganter Ma?”
“Jadi sayang, tante Soffie mau pakai mobil kita untuk beberapa hari, baguslah kebetulan kita juga lagi tidak memakainya.” Jawab Mama didepan kemudi “ Kita jemput tante Soffie dulu sayang.”
Ellyana hanya membisu, ingin sebenarnya ia melarang Mama untuk meminjamkan mobilnya pada tante Soffie, ingin sebenarnya ia bilang untuk tidak usah pergi, ingin sebenarnya ia menceritakan tentang mimpi itu. Tapi Mama tidak akan pernah bisa mengerti hal ini. Pasti Mama akan mengira aku sakit lagi. Oh, Tuhan andai saja aku bisa minta tolong garuda hijau untuk melindungi semua petaka yang nanti akan terjadi..
“Ellya, kau baik-baik saja?” Mama melihat kemuraman diwajahku.
Aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Tapi lidahku serasa terkunci. Julie, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak kuasa menghadapi semua ini, bagaimana kau bisa setegar itu ketika harus melihat kejadian demi kejadian yang menyakitkan terjadi di mimpi dan dunia nyatamu.
Mobil Mama berbelok menuju rumah tante Soffie, tinggal satu blok lagi. Dari kejauhan aku bisa melihat tante Soffie sudah bersiap di depan rumah,  mengenakan blus  biru. Ellyana memejamkan mata, seolah ingin pergi menghindari semua ini. Apakah jika tante Soffie tidak mengenakan baju biru, maka musibah ini bisa dihindari? Mungkin saja, pikir Ellyana, jadi tidak ada salahnya mencoba.
Sebelum Tante soffie masuk ke mobil, buru-buru Ellyana membuka pintu mobil, “Tante, Ellya mau ke kamar mandi dulu..” segera keluar dan setengah berlari membuka pintu pagar. “Buruan tante, sudah mendesak nih..” sambil memegang perut dan nyengir-nyengir.
“Iya,..” memasukkan kunci dan membuka pintu dengan buru-buru.
Ellyana langsung aja menerobos masuk ke dalam rumah dan mengarah ke kamar mandi yang ada ruang belakang. Di dalam kamar mandi otak Ellyana berputar keras, apa yang harus dilakukan agar tante Soffie mau berganti baju. Andai saja tante Soffie mau membatalkan rencana kepergian ini?. “Tuhan, tolonglah aku, berilah aku petunjukmu agar aku bisa menolong tante Soffie.”
“Ellya... masih sakit perutmu?” Tante Soffie mengetuk pintu dan menempelkan telinga di pintu kamar mandi.
“Iya tante..” kata Ellyana dengan suara diparaukan.
“Tante panggil Mama dulu ya?” Tante Soffie bergegas keluar menghampiri kakaknya yang masih menunggu d mobil. “Ellya sakit perut, Kak”
“Lho.. tadi tidak bilang apa-apa, sekarang dimana?”Buru-buru keluar mobil dan menuju rumah.
Ellyana meringkuk di sofa tengah sambil memegangi perutnya. Matanya terpejam karena dia takut Mama akan mengetahui kebohongannya.
“Kamu kenapa Ellya?” tanya Mama khawatir. Jangankan sakit perut seperti ini, batuk karena tersedak minum saja Mama sudah panik luar biasa. Mama memegang dahi, tangan dan kaki Ellyana untuk memastikan suhu badannya. Dingin. “Ambil selimut soffie!” pinta Mama sambil membetulkan letak bantal di kepala Ellyana.
Soffie segera menyelimuti tubuh Ellyana, “aku buatkan teh hangat ya Kak?” tanya Soffie ikut panik melihat Ellyana yang hanya diam dan memejamkan mata. Dalam hati Ellyana juga semakin bingung, belum lagi dapat cara untuk meminta tante Soffie berganti baju, bagaimana dengan kelanjutan sandiwara ini?
“Ini Kak” Soffie menyodorkan teh hangat untuk Ellyana pada Mama.
“Ayo sayang, coba diminum” Mama membantu Ellyana untuk bangun dan meminumkan teh hangat. Ellyana meminumnya beberapa teguk. “Kita ke rumah sakit ya sayang.” Mama mengusap kepala Ellyana.
“Sudah baikan kok Ma, cuma mules aja. Mungkin sebentar lagi juga sembuh Ma.” Ellyana kembali berbaring di sofa dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Kalau begitu istirahat saja dulu sayang.” Kata Mama
Ellyana masih memejamkan mata. Kali ini terbayang mimpinya semalam ketika Julie menemaninya dan menunjukkan musibah yang akan dilihat oleh Ellyana dalam perjalanannya hari ini. “Bagaimana harus membelokkan takdir?” Pikir Ellyana. Tapi rasanya hatinya tidak kuasa untuk menyaksikan musibah itu menimpa Tante Soffie. “Kenapa aku harus mengetahui semua ini, Tuhan?” jerit hati Ellyana dan tanpa disadari air matanya menetes di kedua sudut matanya. “Apakah aku harus menyampaikan pada Tante Soffie? Tapi untuk apa, akan sama seperti yang aku alami, tidak ada yang bisa diperbuat untuk mengalihkan takdir. Atau seandainya aku tidak ikut dalam perjalanan ini, apakah semua akan tetap terjadi?”
“Ellya... ada apa sayang?” Mama memperhatikan kegelisahan Ellyana dan melihat air mata yang membasahi bantal.
“Ellya takut Ma..” Ellyana  tidak bisa lagi menahan ketakutan dan semua yang terasa berat di hatinya. Ellyana hanya gadis kecil yang belum genap 12 tahun. Sejak sakit yang dialaminya 5 tahun yang lalu, Ellyana memiliki kelebihan yang sampai saat ini justru hanya menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Dengan teman mistis dalam mimpi-mimpinya, Julie, dia melewati hari-harinya yang penuh dengan hal-hal aneh. Bisikan-bisikan, bayangan, gambaran sesorang yang tidak jelas, sampai mimpi yang menjadi kenyataan. Julie-lah yang selama ini memberinya kekuatan, menuntunnya untuk melewati semua hal yang baru dan aneh.
“Takut kenapa sayang?” Mama merengkuh gadis kecilnya, memeluknya untuk memberinya ketenangan jika itu memang bisa menenangkan.
Ellyana hanya terisak, terlalu sulit untuk bercerita pada Mama. Bukan karena Mama tidak percaya, tapi justru Mama hanya akan semakin khawatir, Mama hanya bisa mengiba seperti yang pernah dikatakan Mama beberapa waktu yang lalu ketika Ellyana menceritakan bayangan-bayangan dan mimpi-mimpi itu “Seharusnya Tuhan juga memberi Mama kelebihan seperti padamu, agar kita bisa berbagi, sayang.”
Pun ketika aku bercerita tentang  Julie, Mama bilang, “Dapatkah kau minta Julie untuk datang di mimpi Mama? Kalau dia temanmu seharusnya Mama juga temannya.” Dan Julie hanya tersenyum ketika aku menyampaikan hal itu padanya. “Mamamu sangat sayang padamu Ellya.” Kata Julie waktu itu.
“Ellya.. katakan Nak, berceritalah, mungkin Mama tidak bisa banyak membantu tapi setidaknya Mama bisa memberimu kekuatan, Mama senantiasa mengiringmu dengan doa-doa sayang, jangan takut pada apapun.” Mama masih memeluk Ellyana erat.
“Tante Soffie, Ma..” belum sampai Ellyana untuk bercerita, tiba-tiba ia menyadari sesuatu, bahwa tante Soffie tidak ada di dekatnnya. Dilepaskan pelukan Mama, diseka airmatanya. “ Tante Soffie mana Ma?” tanya Soffie gusar.
“Pergi sayang.. Mama minta tolong membelikan obat sakit perut untukmu, kenapa?”
“Tante.......!!” Ellyana berlari ke luar rumah, berusaha  menghentikan jika mungkin masih bisa dihentikan. Berusaha menahan jika mungkin masih ada waktu untuk menahan takdir itu agar tidak terjadi. Tapi mobil  Mamanya telah melaju dibawah kemudi Tante Soffie, mobil itu melaju dan menghilang di kejauhan. Tante Soffie dengan baju birunya. Siang ini di bawah sinar matahari yang menghangatkan kota, melewati lampu merah dan Tante Soffie yang tidak akan pernah kembali ke rumah lagi.
***

     Ellyana menatap kesekililing. Kain kanvas, kuas dan cat lukis telah siap. Pemandangan yang luar biasa indah, bahkan mungkin menakjubkan. Melihat pemandangan yang menggigilkan. Tempat ini sungguh elok, seperti Negeri di Taman Surga. Bentangan hijau dengan takaran yang tidak sama tersaput dengan putih awan dan warna biru terang disela-selanya. Garis-garis lurus yang menghantar sinar matahari, terasa hangat menyentuh kulit, beradu dengan dingin yang menyusup ke pori-pori. Danau membentang dibawah, menjadi cermin bagi bentang langit, sungguh menakjubkan. Seolah mencairkan tumpukan salju di puncak gunung. Lalu, airnya mengalir ke sungai yang berkelok keperakan jauh di bawah.
Keindahan itu belum berpindah pada kanvas yang telah menunggu dipoles, Ellyana merasakan kehadiran seseorang didekatnya. Wanita yang kurang lebih seumuran dengannya. Namun terlihat lebih dewasa dengan balutan syal tebal di lehernya. Rambutnya hitam lurus tergerai melebihi pundak, matanya tidak sempit tapi juga tidak terlihat bulat seperti miliknya dengan sepasang alis yang tebal  dengan bulu-bulu hitam yang hampir terlihat menyatu.
“Siang..” sapanya tenang dan mengulurkan tangan
“Siang.” Ellyana menyambut uluran tangannya, lengan bajunya agak terlihat terlalu panjang sehingga dia harus menarik kain disekitar siku saat mengulurkan tangan.
“Sonya.”
“Ellyana.”
“Suka melukis pemandangan?”
“Apa saja asalkan terlihat indah untuk dilukis.”
“Bagaimana dengan diriku?” Sonya tersenyum seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya indah dan pantas untuk dilukis.
Ellyana memperhatikan lebih seksama. Tidak salah, pikirnya. Teman barunya ini memang terlihat indah, wajah dan tubuhnya sempurna jika terekam dalam kamera fotografer. Ellyana tersenyum dan mengangkat bahu, “Bagaimana jika seandainya lukisanku justru terlihat tidak seindah aslinya?”
“Mungkin harus dicoba, jika kau tidak keberatan.” Sonya seolah telah menjadi sahabat lama bagi Ellyana. Keduanya sepakat, Sonya duduk dirumput dengan kaki kanan yang sedikit ditekuk. Tangan kirinya menopang tubuh kebelakang dan tangan kanannya bertumpu pada lutut kanan. Rok warna kelabu tua menutup hampir seluruh kakinya. Blus putih lengan panjang, dan syal tebal warna kelabu lebih terang dari roknya. Pandangannya mengarah pada langit diatas.
Ellyana segera membetulkan,”Bagaimana jika tatapanmu lurus padaku, aku ingin melukis matamu yang seperti pelangi.”
Sonya tidak menolak, justru dia merasa Ellyana terlalu memujinya.
“Bagaimana kamu bisa berada disini?” Ellyana lincah membuat sketsa wajah di kanvas, berkali-kali ia menatap wajah Sonya lekat-lekat memastikan tangannya tidak akan salah membuat coretan. Namun Ellyana merasa tatapannya terhalang oleh pendar warna emas dari tubuh gadis iini.
“Entahlah.. mungkin takdir yang mempertemukan kita.”
“Sendiri?”
“ya.”
“Tinggal dimana?”
“Aku akan mengajakmu kerumahku.”
“Dengan senang hati, Sonya.”
Sekejap, mereka telah menjadi sahabat. Ellyana tidak merasa asing dengan Sonya. Sonya memang bukan Priza, sahabat di masa kanak-kanaknya. Setelah perpisahan dengan Priza karena Priza yang memang selalu berpindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan Papanya, tidak ada lagi nama yang tercacat selama hampir 15 tahun ini, kecuali Julie yang hanya hadir dalam mimpinya.
            Ellayana memang bukan gadis yang mudah bergaul. Pada masa sekolah, setiap kali jam istirahat ia hanya akan makan atau berjalan dengan kesendiriannya. Guru-guru selalu memuji keberhasilannya dalam kelas, namun selalu mengganggap Ellyana memiliki masalah kepercayaan diri. Beberapa lelaki menganggapnya menarik, tapi mereka semua akan mundur dengan sikap dingin Ellyana. Kelompok gadis adalah kisah yang lain. Mereka mengagumi kepandaian Ellyana, namun terkadang mengganggapnya terlalu membosankan karena nasehat-nasehatnya dan tidak ingin mendekatinya. Namun beberapa dari gadis-gadis ini masih menghormati Ellyana, dan mereka berteman seperti berteman dengan yang lain.
Sebenarnya Ellyana tau bagaimana caranya berteman, namun dia tidak ingin terlalu dekat dengan mereka. Karena terkadang kehadiran sesuatu yang tidak diketahui teman-temannya, akan dianggap mereka aneh. Ellyana lebih suka ketika mereka hanya belajar dan belajar, tanpa menggunjingkan siapapun atau membicarakan laki-laki yang terdengar sangat membosankan bagi Ellyana.
Sekarang diusia Ellyana yang duapuluh tahun, Sonya,  menurut Ellyana sangat menarik dan memesona. Dia seperti Julie, mungkin. Untuk pertama kalinya setelah tante Soffie meninggal, Ellyana pergi berjalan-jalan mengitari kota, keluar masuk pertokoan, tertawa terbahak-bahak dengan   ice cream atau coklat ditangan, bersama Sonya. Sonya yang sangat gemar Ice cream telah menularkannya pada Ellyana, demikian pula Ellyana telah membuat Sonya kecanduan dengan coklat-coklat. “Coklat bisa membuat kulitmu halus” kata Ellyana ketika pertamakalinya menyerahkan sebatang coklat pada Sonya.  Ellyana dapat menghabiskan waktu selama mungkin dengan teman barunya ini, merasakan hangatnya sinar matahari, atau berjalan menembus hujan lebat.
Hari itu, setelah dari toko buku dan membeli beberapa cat lukis dan majalah-majalah fesyen yang memberitahu mereka baju-baju atau tas mana yang sedang trend, mereka menuju rumah Sonya. Sebuah rumah dengan halaman yang tidak begitu luas namun berumput hijau. Mereka menaiki beberapa undakan untuk sampai ke pintu utama rumah. Sonya membuka pintu, dan mereka berdua berhampbur masuk ke dalam rumh.
“Waow.... segar sekali disini?” Ellyana merasakan hembusan dingin yang menerpa wajah dan badannya. Sonya menghempaskan tubuhnya di sofa dan memejamkan mata merasakan kesejukan melingkupi dirinya.
“Kamarku diatas” kata Sonya setelahnya.
“Kamu sendiri, dirumah ini?” tanya Ellyana dengan pandangan mata yang mengitari seluruh rumah. Ada tangga melingkar yang menghubungkan ruang tamu dengan dua atau tiga kamar di lantai 2.
“Denganmu saat ini.” Sonya menarik tangan Ellyana menuju tangga melingkar itu.
Ellyana tidak menolak, tepat diujung tanggga terdapat sebuah ruangan dengan pintu tertutup, “Itu dulu ruang kerja Papa” Sonya menjelaskan dengan langkah kaki menuju kamarnya. Ia membuka pintu pada ruangan di sebelahnya, “ini kamarku, masuk”.
Sebuah ranjang yang luas untuk tidur sendiri tertata begitu apik dengan bunga-bunga besar berwarna merah memenuhi spre. Meja rias dengan kaca oval, lemari pakaian tembus pandang, lemari es ukuran kecil, meja berwarna hijau menghadap ke jendela kamar dan sofa hijau yang tiak terlalu besar. Sebuah foto seorang ibu dengan kacamata coklat yang lebar dengan baju hangat yang sangat tebal dan rambut yang dikuncir dibelakang. “Itu Mama” Sonya memberikan penjelasan ketika melihat Ellyana memperhatikan foto itu.
“Mama lebih mencintai Papa daripada aku, sehingga dia lebih memilih untuk meninggalkan aku sendiri.” Sonya mengerjapkan mata untuk menahan air mata yang mengembun.
“Sudah lama kamu hidup sendiri?”
Sonya membuka lemari es dan megeluarkan minuman kaleng, ”Sejak Papa meninggal, Mama selalu murung dan hanya membisu. Benar-benar membisu karena tak sepatah katapun ia ucapkan, tidak juga untukku. Lalu ia mengalami sakit yang luarbiasa pada punggungnya hingga ia tidak dapat duduk atau merubah posisi pada saat ia tidur.  Sakit itu akhirnya menghantarkannya pada Papa, belum lagi satu tahun dari meninggalnya Papa. Aku masih 15 tahun.
Dalam hati Ellyana bersyukur, meskipun ia tidak pernah tahu laki-laki yang disebutnya sebagai Papa, namun Mama adalah segalanya. Mama selalu membuka ruang hatinya untuk Ellyana. Mama tidak pernah membiarkannya dalam kesendirian yang sepi. Namun jika Ellyana tidak pernah menceritakan Sonya pada Mama adalah hal yang sudah biasa. Karena terkadang Ellyana sendiri tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Ellyana mengalihkan perhatiannya pada lemari pakaian yang tembus pandang. Lemari lebar dua meter dengan tinggi hampir menyentuh langit-langit kamar. “Hey, apa kau fotomodel atau pragawati?” tanya Ellyana mengalihkan suasana muram.
Sonya tertawa lepas, “ Wanita diciptakan untuk selalu terlihat cantik, dan aku rasa itu akan terlihat mustahil jika tanpa gaun yang juga cantik.” Sonya membuka lemari itu dan mengambil beberapa baju dan ditunjukkan pada Ellyana.
“Coba baju ini, kau lebih cantik dari miss universe” Sonya meyerahkan baju berwarna  ungu terang, dengan badan yang terlihat ramping, namun melebar pada roknya dengan bagian bawah yang merumbai tidak rata. Lengannya sedikit diatas siku, rapat. Ellyana menempelkan ditubuhnya dan melihatnya di cermin.
Ellyana tersenyum lebar, Sonya mengambil sebuah gaun di lemari dan menempelkannya di badan seperti yang dilakukan Ellyana. Mereka berdua merapat melihat kecantikannya di cermin. Detik itu juga Ellyana menyadari sesuatu, ia tak dapat melihat bayangan temannya. Di cermin ia hanya melihat dirinya sendiri yang memegang gaun ungu terang.
Malam hari dikamarnya, Ellyana kembali memikir tentang Sonya. Apakah dia hanya ada dalam khayalannya? Ellyana sesungguhnya lelah dengan semua khayalan itu, khayalan-khayalan yang hanya seperti gelembung sabun yang rapuh. Terlihat indah dengan warna-warni pelanginya, namun sekejap akan terbawa angin dan pecah.
Sonya adalah wanita dengan separuh tubuhnya bersinar dengan warna keemasan yang aneh. Warna yang menyilaukan mata, tapi separuh dari ruhku tetap ingin membuka bagi warna itu. Bagi Ellyana hanya dengan Sonya ia dapat bergerak dengan santai, berbicara dengan lancar, dan mendapatkan kesempatan tertawa lepas seperti ketika ia bersama tante Soffie. Pada malam hari, sebelum Ellyana tertidur, ia akan membayangkan Sonya tidur disebelahnya, sangat dekat, sehingga mereka bisa bercerita tentang apapun hanya dengan berbisik. Dan ketika pagi menyapa, Ellyana mendapati dirinya sendiri di kamarnya, di tempat tidurnya.
***


Ini adalah tentang pemilik hati.
            Ellyana menemukannya pada usia yang ke duapuluh dua. Ellyana  tidak tahu apakah lelaki itu mengenalnya sebagai perempuannya atau tidak. Ruang-ruang waktu telah memberi jeda dalam diam yang berkepanjangan. Ellyana merasakan kedamaian dengan kehadirannya, dan  ruhku mengatakan ingin selalu dekat dengan lelaki ini. Laki-laki ini seolah selalu tahu kapan ia mengharapkan kehadirannya, dimana ia menunggunya. Setiap kali bulan bersinar penuh atau hanya setengah, lelaki itu selalu ada didekatnya.
Ah, mungkin laki-laki ini tidak seajaib yang ia kira. Dia hanya lelaki seperti para lelaki yang biasanya mampir di butik Mama Ellyana. Mungkin atas permintaan seseorang atau memang kedatangannya atas dorongan rasa yang entah bagaimana sehingga mereka berdua bisa bertemu. Anehnya Ellyana merasa jatuh sayang dengan lelaki itu. Mereka seperti anak kijang yang tersesat di tengah malam. Begitu rapuh dan lembut meski mereka selalu berusaha mati-matian sekuat tenaga menjadi raksasa-raksasa pahlawan.
”Mengapa kamu  selalu datang ke Butik  ini?
Pertanyaan itu hanya ada di dalam hati Ellyana saja. Ia benar-benar takut untuk bersuara terhadapnya. mereka benar-benar terdiam dalam sepi yang berpesta dalam ruangan itu. Ketika Inya, asisten Mama menyelesaiakan proses pembayaran beberapa baju yang telah dipesan, Ellyana menemani lelaki itu. Ellyana tanpa alasan yang bisa dijelaskan merasa benar-benar terpukau padanya. Ruang-ruang di antara sekat-sekat jantungnya  merongga luar biasa dan di antaranya mengalirlah darahku yang berwarna merah jambu.
”Aku menyukai matamu.” Kata lelaki itu.
Labirin di dalam matanya bersuara lirih. Ellyana merasakan mukanya memerah seperti buah plum yang telah masak. Ia mengejap untuk menghindar dari serbuan warna hitam yang pekat dari mata yang bernuansa nujum itu. Ribuan dentum di dadanya berdegup oleh satu kalimat yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Selalu seperti sebuah entah, mata yang pekat itu menyimpan satu kejujuran yang membuat Ellyana sangat nyaman menikmati.
“Terimakasih.” Hanya kalimat itu, karena Ellyana tidak mau mengatakan kebohongan ataupun mengatakan kejujuran yang akan disesalinya nanti.
Ellyana benar-benar ingin dia selalu merindu. Meski untuk sebuah rindu yang entah. Mungkin Ellyana telah melanggar aturan. Seperti yang sudah tertebak, lelaki itu hanya tersenyum. Mata itu tetap pekat.
Waktu pun berdetak. Detak itu dari jantung mereka sendiri. Ellyana berharap bisa menghentikan waktu. Alangkah bahagianya jika itu terjadi.
”Kamu malaikat jatuh?”
Lelaki itu tertawa dan tawanya melegakan hati Ellyana. Artinya masih ada harapan dia seperti lelaki-lelaki pengunjung butik Mama yang lain. Bukan seperti Sonya atau Julie. Ellyana memang merasakan tidak pernah bertemu sebelumnya, dimanapun, di khayalan, juga dimimpi.
Ellyana merasakan menemukan lelaki yang tepat. Seperti kanvas kosong yang digoreskan warna demi warna, hari demi hari, perlahan menemukan bentuk yang ingin dilukiskan. Saat ini setelah beberapa kali pertemuan mereka yang sepertinya disengaja, hati Ellyana terasa telah terisi. Seperti lukisan yang telah jadi, terlihat indah dan benar. Namun sejatinya apa arti dibalik lukisan nyata itu? Pertanyaan demi pertanyaan menggelayut di banaknya. Bagaimana dengan Harry? Apa ia juga begitu?
Ellyana merasa nyaman bersama Harry, tapi bagaimana dengan Harry, apakah ia juga merasakan hal yang sama? Ellyana menentukan pilihannya pada Harry. Tapi apakah Harry juga memiliki kayakinan serupa?
Ellyana berusaha mencari tanda-tanda itu, bahkan mencari jawaban secara pasti, suatu siang, ketika Harry mengajaknya lunch di cafe.
”Mengapa kamu mengajakku?”
”Aku menemukanmu pada sebuah ruang bernama sepi, kamu terus aku cari dan aku bahagia akhirnya aku menemukanmu.”
Ellyana  merasakan dirinya begitu bodoh ketika mempercayai kata-kata itu.
”Mungkin kita bertemu di waktu yang tepat. Tapi di saat yang salah,” Ellyana takut adalah suatu kesalahan ketika waktu yang salah telah  memilih Harry menjadi kekasihnya.
”Mungkin iya mungkin tidak.
 Mungkin kamu tidak serius.”
Mungkin kamu akan terluka, mungkin kamu akan bahagia. Tapi kamu akan tahu bahwa di persimpangan itulah sebuah hidup akan bermula”. Pada detik-detik itu Ellyana bertanya-tanya bagaiman mungkin Julie tidak pernah memberitahunya tentang lelaki ini?
Harry mengantar Ellyana pada ujung pintu. Ellyana berharap besok, dan besoknya lagi ia tidak lagi bertemu lelaki ini. Hingga ketika waktu telah jauh bergulir dan ketika ia mendapati diri tak lagi jatuh cinta pada Harry.
Kenyataan, selama tiga bulan kemudian, mereka selalu bertemu setiap saat, pada setiap kesempatan. Mereka menjelajah plaza, cinema, cafe dan sepanjang jalan. Terkadang menghabiskan saat-saat matahari terbenam di tepi kota yang jauh dari ramainya kendaraan. Suatu hari Harry menjelaskan tentang burung-burung yang terbang besama-sama pada langit temaram. “mereka mengikuti matahari.”
“Bagaimana kamu tahu?” tanya Ellyana.
“Rahasia alam semesta lebih mudah dimengerti dibandingkan hati seorang perempuan”. Harry mengatakan dengan sangat serius, sementara Ellyana menanggapinya dengan tertawa. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa kata-kata itu, kelak akan terus menghatuinya.
Dan ini adalah sepenggal cerita yang semakin membuat Harry tidak mengerti.
Siang itu Ellyana menggantikan posisi Mama di butik ditemani Sonya. Ketika Harry tiba-tiba sudah berdiri di depannya, sontak Ellyana sangat terkejut dan menjatuhkan nota-nota ditanganya. Namun kemudian Ellyana dan Sonya tertawa lepas. Harry mengajak Ellyana jalan siang itu.
“With Sonya?”
“Sonya? Siapa dia?”
Ellyana antara sadar dan bingung, bagaimana dia menjelaskan semua ini pada Harry? Namun dia sudah terlanjur menyebut nama “Sonya”. Sonya paham kebingungan Ellyana dan ia mengatakan “Pergi saja, nanti dia akan lupakan kejadian ini.”
Ellyana tersenyum, membereskan nota-nota, mematikan laptop, menyambar handpone dan tas kerjanya, “Aku sudah siap”.  Harry seolah melihat sebuah patung yang tiba-tiba berjalan, namun ia melangkah juga disamping Ellyana. Tangan kanan Ellyana melingkar di tangan kiri Harry, sementara tangan kirinya menarik Sonya untuk turut serta.
Mobil melaju membelah kota yang padat dan terik. Bertiga.
“Kopi hitam” Mereka memilih makan siang di kedai  yang menyediakan menu rujak cingur khas Surabaya.
“Jus melon dua.” Seketika Harry menatap ke arah Ellyana.
“Rujaknya berapa porsi?” tanya gadis berbaju seragam kotak-kotak yang melayani di kedai itu.
“Tiga.” Jawab Ellyana santai. Gadis mengangguk kemudian pergi.
“Kenapa tiga, sayang?” tanya Harry. Melihat ekspresi Ellyana yang seolah tidak mendengar pertanyaannya, Harry melanjutkan,”maksudku tidak biasanya kamu pesan 2 porsi?”
“Tenang saja, Honey.” Ellyana membuka krupuk rambak, krupuk yang terbuat dari kulit sapi. “Cobain deh, gurih..”
Harry mengambil krupuk rambak yang disodorkan Ellyana, dengan tatapan yang aneh karena Ellyana tampak memberikan senyum ketika menoleh ke arah kursi disampingnya. “Aku tidak suka Rujak, Ellya.” Kata Sonya.
Ellyana menatap  Harry, ”Cobain dulu, Rujak disini rasanya luar biasa, aku dulu pernah ngajakin Mama, dan Mama bilang tidak suka rujak, nyatanya beberapa hari saja Mama ngajakin balik kesini lagi.”
“Aku kan sudah sering kamu ajak kesini, kenapa harus nyobin lagi?”
“Tapi disini, setiap hari rasanya beda, Honey. Semakin mantap!” Ellyana mengacungkan jempol dan tersenyum menggoda.
Harry menyeduh kopi hitamnya panas-panas, tidak peduli kata-kata Ellyana atau tingkah anehnya. Cafein dalam kopi hitam memberikan candu yang menenangkan. Ketika rujak cingur juga tersaji, Harry tidak peduli mau diapakan yang satu porsi disampingnya. Dia nikmati saja menu khas Jawa timur itu, dengan rasa pedas yang memanaskan telinga dan ubun-ubun. Ellyana pun tidak banyak berkomentar meskipun menunya tidak berasa pedas sama sekali. Ellyana sepakat dengan Sonya untuk satu hal itu. Mereka tidak menyukai aroma cabe apalagi rasanya, yang akan mengganggu perpaduan bumbu-bumbu yang harum dan gurih menurut Sonya. Rasanya akan mengganggu kenikmatannya makan menurut Ellyana.
Tiba-tiba hujan turun begitu lebat.
“Hujan!” Sonya berteriak girang. Ia mengedipkan mata pada Ellyana berharap persetujuan untuk bermain dengan hujan.
“Honey, bagaimana menurutmu jika aku bermain hujan?” tanya Ellyana untuk memastikan jawaban pada Sonya.
“Kamu? Bermain hujan?”
Ellyana hanya mengangkat alis.
Harry tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, “Aku rasa saat ini aku sedang berkencan dengan gadis baru remaja.”
Sonya tanpa menunggu jawaban Ellyana sudah berlari menghambur menerjang lebatnya hujan. Ia berteriak-teriak mengangkat kedua tangannya dan menengadahkan wajah. Ia berlonjak kegirangan. Ellyana ingin bebas seperti Sonya, tapi banyak mata yang akan melihat dan pasti akan menertawakannya. Jika tanpa Harry, mungkin ia tidak akan peduli. 
            “Ellya, ayo sini, tinggalkan saja dia disana, kau akan merasakan tiap panah hujan menembus tubuh dan kepalamu dan memberikan kesegeran yang tiada tara. Kau akan terhipnotis oleh panah-panahnya.” Sonya berteriak sangat keras, Ellyana hanya tersenyum.
Ellyana tidak pernah tahu kalo Sonya begitu bersahabat dengan hujan. Ia terlihat seperti ikan yang baru dilepas dikolam setelah sekian lama dikurung dalam toples kecil. Ia menyanyi, entah lagu apa, ia berteriak tapi Ellyana tidak mendengar dengan jelas karena hujan begitu deras.
Detik berikutnya, cahaya itu begitu menyilaukan dan begitu dekat. Cahaya yang diikuti suara seperti ledakan yang begitu memekakkan telinga. Ellyana memejamkan mata dan menutup kedua telinganya. Namun ia melihat cahaya itu berpilin, mengangkat sesuatu dan membawanya kelangit. Ia segera menyadari sesuatu, Sonya..
Ellyana menghabur melihat disekitar kedai, tempat Sonya tadi menari dan berteriak kegirangan. Kosong. Hanya hujan yang berwarna putih dan semakin deras. “Sonya...” Ellyana mendesis parau. Dia tak bisa lagi menyembunyikan kegalauan hatinya, kemana Sonya, kemana petir itu membawa Sonya?
Ketidakpahaman Harry akan apa yang terjadi dan dialami Ellyana membuatnya hanya bisa memberikan pelukan. Direngkuhnya bahu kekasihnya itu, “Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang aku tahu kamu harus tenang, ada banyak rahasia di alam semesta, demikian juga dihatimu.”
Air mata Ellyana menjadi sederas hujan  yang putih.

***


Satu bulan sejak kejadian menghilangnya Sonya bersama petir itu, Ellyana berjalan menyusuri jalan kota yang lurus. Hampir disetiap langkahnya ia membayangkan ada Sonya disampingnya. Sonya yang selalu riang, yang selalu bercerita, dan yang selalu kecanduan ice cream. Dengan mengenakan kaus kuning berkerah tinggi dan berlengan panjang, Ellyana merasa perkembangan dalam hidupnya tak lagi dapat digambarkan, meskipun hanya seperempatnya. Bahkan sinar yang memancar dari tubuh Sonya tidak juga kini meredup dibenaknya.
Terkadang Ellyana melihat seseorang yang duduk di trotoar jalan tanpa alas kaki yang tidak menjadi perhatian siapapun yang melewatinya. Terkadang beberapa anak kecil yang berlari menyeberang jalan tanpa takut tertabrak mobil. Terkadang bisikan-bisikan yang memanggil namannya, atau meneriakkan sesuatu yang tidak dimengerti Ellyana. Terkadang anjing atau mungkin kucing sebesar anjing yang berlari menabraknya. Terkadang kabut putih, atau sinar yang tidak ia tahu bersumber dari apa. Ellyana terus berjalan, dengan dagu yang terangkat dan punggung tegak.
Pemahaman tentang perjalanan hidup tidak membuatnya sesedih sebelumnya. Saat ini ia telah dapat menerima kenyataan bahwa orang-orang akan datang dan pergi dalam kehidupannya seperti bayangan-bayangan yang melintasi ruangan. Sama seperti tante Soffie, dan berikutnya Sonya.
Diusianya yang semakin matang, sebuah ekspresi melankolis terpancar dari wajahnya yang cantik. Matanya yang gelap dan serius menjadi semakin tajam, kepandaiannya yang meningkat cepat semakin menonjol. Ellyana tumbuh menjadi gadis dewasa yang seolah bisa terbang ke angkasa bahkan oleh angin yang kecil saja. Ellyana benar-benar telah dapat menerima anugerah Tuhan yang begitu luar biasa pada dirinya. Ia tidak perlu merasa ketakutan karena sesuatu yang mengejutkan tiba-tiba hadir dihadapannya. Atau  karena suara rintihan meminta tolong yang tidak bisa ia jangkau keberadaannya.
Mama pun sudah jauh lebih tenang dengan keberadaan Ellyana. Tidak ada yang perlu dirisaukan meskipun beberapa temannya mengatakan Ellyana terlalu pendiam untuk gadis seusianya. Buat Mama yang terpenting selama yang dilakukan Ellyana tidak merugikan orang lain dan ia merasa nyaman dengan apa yang dilakukan, lewat saja.
Harry, meskipun ia merasa terlalu banyak rahasia yang disimpan Ellyana tapi ia cukup bijak untuk memberi ruang bagi Ellyana untuk menyimpan rahasia itu sampai ia benar-benar merasa perlu berbagi dengannya. Tidak ada yang perlu diragukan pada diri Ellyana dan itu yang membuat kasih sayangnya pada Ellyana semakin sempurna.
Harry adalah anak tunggal, Mamanya sama seperti Mama Ellyana adalah pemilik butik, hanya yang membedakan Mamanya lebih sering pesiar ke luar negeri untuk mendapatkan barang-barang yang menurutnya istimewa. Jadilah ia dan Papanya lebih sering tinggal berdua di rumah. Hal itu sudah terjadi sejak ia masih anak-anak, namun Papanya sama sekali tidak pernah merasa terganggu dengan kesibukan Mama. Sikap santai Papanya itu yang mungkin telah diwarisi oleh Harry, dan sikap itu yang pertama kali membuat Ellyana tertarik, selain karena tampan. Dimata Harry orang-orang yang dicintainya selalu terlihat sempurna, ia hanya sedikit bersikap skeptis, dan ia percaya dunia adalah tempat yang adil dan berharmoni.
Mama justru melihat Harry hampir sesempurna Fredy, kekurangannya hanyalah karena Mama pernah merasakan jatuh cinta pada Fredy dan tidak pada Harry. Harry justru merasakan kenyamanan dekat dengan Mama Ellyana. Perhatian yang terkadang terlewatkan oleh Mamanya telah diisi oleh Mama Ellyana.
“Tante Rossa kan harus membeli banyak perhiasan sayang, dan itu butuh ketelitian dan kejelian dalam memilih. Tidak mungkin kalau hanya melihat katalog, pesan, dan dikirim. Karena itu Tante Rossa jadi sering keluar negeri. Kalau Mama sudah cukup dengan kolega-kolega Mama yang mereka sudah paham dengan selera jual Mama.” Kata Mama menanggapi pertanyaan Ellyana tentang Mama Harry, yang sebenarnya pertanyaan itupun ada di benak Harry.
“Kenapa Mama tidak punya provider yang bisa mengerti dan paham selera seperti kolega Tante?” tanya Harry disela makan siang mereka bertiga di rumah Ellyana.
“Mungkin ada Harry, tapi Mamamu lebih pas dan yakin jika melihat sendiri barang-barangnya.”
Berbeda dengan Harry yang merasakan kenyamanan dekat dengan Mama Ellyana, Ellyana justru merasakan sebaliknya. Meskipun Tante Rossa terlihat amat menyayangi Ellyana tapi Ellyana penuh kecanggungan saat berhadapan, kendati ada Harry disampingnya.
“Oh God, jadi ini gadis yang telah memikat hati putraku?”Rossa menyambut Ellyana dengan senyum dan pelukan hangat ketika pertama kali Harry mengajak Ellyana ke butik Mamanya. “Mama sudak lama mengenal Mamamu, tapi demi Tuhan Mama tidak tahu kalau Luna mempunyai gadis secantik kamu. Mamamu wanita yang hebat sayang, lebih dari sekedar  super women” Kecepatan kata-kata Rossa membuat  Ellyana hanya tersenyum dan memainkan handphone ditangannya untuk mengusir kecanggungan. Harry membaca itu semua, “Dan ini adalah Mamaku yang juga cantik dan super women.” Kata-kata Harry disambut tawa riang Rossa.
“Bagaimana dengan pameran lukisanmu? I hope succes..”
“Alhamdulilah, Tante..”
“Ohh.. No..No.. Ma-ma, sayang.. jangan Tante, okey?”
“Em.. iya.. Ma..” Ellyana melirik pada Harry, seolah memohon pertolongan untuk tidak terjebak situasi seperti ini.
Rossa menuangkan teh kayu manis ke dalam tiga gelas, mengadukkan gula dan es dengan sendok yang panjang. Ia mengambil sepiring manisan buah pala “ Ayo, cobalah, ini makanan kesukaan Mama.”
Ellyana mengambil sebuah, dan menggigitnya seujung kuku. Dan ia merasakan rasa pahit bercampur aroma yang menyengat seperti minyak kayu putih. Gula yang meluluri manisan itu tidak banyak menolong rasa. Bagaimana ia harus menghabiskan manisan ini?
Sementara Rossa terus saja bercerita tentang Harry, tentang perhiasan-perhiasan di butiknya, tentang Paris, Hongkong,  sementara Ellyana kerongkongannya terasa tercekat oleh cemilan minyak kayu putih.
“Mama terlalu cepat membuka rahasia kita, biarlah Ellyana mengetahui beberapa hal sendiri. ”Harry mencoba menyelamatkan Ellyana. “Ayo sayang, aku tunjukkan sesuatu di atas”. Harry menarik tangan kiri Ellyana.
“Permisi Ma” Ellyana canggung namun merasa bersyukur atas pertolongan Harry. Segera ia mengikuti langkah Harry. Meninggalkan Rossa yang masih tersenyum sendiri di sofa.
Harry mengambil manisan dari tangan Ellyana, membungkusnya dengan tussue dan melemparkan di keranjang sampah. Ellyana mengerjap-ngerjapkan mata. “Bagaimana Mama bisa menyukai makanan seperti itu?”. Berdua mereka tertawa.
“Apa yang akan kamu tunjukkan, Honey?”
Nothing, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku juga tidak suka manisan itu.” Harry merengkuh pinggang Ellyana, dan mendekatkan kebadannya. Ellyana tersenyum namun mengelak dari rengkuhan Harry.
Ini ruang kerjamu, Honey?”
Harry seperti membaca pikiran  Ellyana, diraihnya tangan kekasihnya dan dicium ujung jarinya dengan lembut. Kini raut muka Ellyana bersemu merah.
“Jadilah istriku” kata-kata itu begitu pelan terdengar di telinga Ellyana namun telah menggetarkan hatinya. Detak jantungnya kini terpacu cepat. Waktu memberi jeda dalam diam.
Ketika dirasakan tatapan mata Harry hanya berjarak tak lebih dari tiga jari dengannya, Ellyana mencoba mencoba mengalihkan sebuah gairah yang membuat jantung Harry pun berdetak cepat, ”Apa menurutmu Mama Rossa akan menerimaku, Honey?”
“Kurasa ia akan memujamu, seperti aku, Sayang”
Ellyana tertawa dan memeluk Harry, namun ia tidak memberikan jawaban apapun.
Hingga kini.
Telah satu tahun lewat, Harry tetap menunggu jawaban dari Ellyana. Tak sedikitpun ragu di hati Ellyana untuk menerima Harry menjadi pendampingnya, namun bagaimana dengan Mama Rossa? Ellyana tidak pernah mengerti kenapa setiap kali Rossa berbicara padanya selalu diikuti suara bisik-bisik yang Ellyana tidak tahu suara apa itu. Seolah suara-suara itu berusaha menutupi pembicaraan Rossa agar tidak terdengar Ellyana. Terkadang Ellyana melihat sinar mata Rossa yang penuh kebohongan.
“Jangan buruk sangka, Sayang. Mama Rossa hanya berusaha untuk menyayangimu seperti dia menyayangi putranya sendiri.” Kata Mama ketika Ellyana mengungkapkan keraguan akan ketulusan rasa sayang Rossa.
“Ellyana hanya takut, Mama Rossa berpura-pura menerima Ellyana, tapi sejatinya ia tidak suka sama Ellyana.”
“sssttt.. jangan sampai kata-katamu itu didengar Harry, Ellya. Apalagi Mama Rossa.” Mama meletakkan gaun-gaun yang tengah ia periksa kualitasnya, lalu duduk disaping Ellyana, sore itu di butiknya. “Kamu harus berusaha untuk bisa menerima seseorang, siapapun yang akan terlibat dalam kehidupanmu. Kamu harus bisa menerima setiap kekurangan seseorang yang akan dekat dengan hidupmu. Menerima seseorang dalam kehidupanmu tidak harus menjadikan seseorang itu seperti seharusnya. Mungkin kamu melihat ketidakseharusan itu, tapi kamu tidak harus berjuang untuk menjadikan sesuatu menjadi seharusnya.” Mama menatap Ellyana yang semakin sempurna kecantikannya dengan aura kedewasaannya.
“Paham maksud Mama, Sayang?”
Ellyana hanya memberikan anggukan dan menyandarkan kepalanya pada bahu Mama. Ragu ia mengungkapkan sesuatu, “Apa Mama tahu tentang ....”
“Tidak perlu dibahas, Sayang. Setiap orang punya hak untuk mengatur dan menata kehidupannya sesuai warna dihatinya.” Mama membelai rambut Ellyana dan memberikan kecupan sayang.
“Ellyana sayang Mama..”
Me too..
Ada embun di mata Ellyana ketika mengingat Mama. Sungguh Ellyana tidak mau berpisah dengan Mama. Hanya Mama yang bisa mengerti Ellyana, hanya Mama yang selalu bijaksana dalam segala hal, hanya Mama yang selalu memayunginya dengan doa-doa, yang punya seribu satu kisah cinta, hanya Mama..
Cukuplah satu kisah cinta untuk ku, Mama.


***