Selasa, 04 November 2014

Fiksi 3: Ranggin Kanan



Ranggin Kanan

#Pelangi, ketika kamu merasa yakin telah bisa melupakan orang yang kamu cintai, namun ternyata kamu mendapati dirimu masih peduli padanya, maka itu adalah cinta yang sebenarnya.#


Sepotong sore yang sempurna.
Busur panah berwarna-warni membentang indah di langit, tapi mendung di hatimu. Desau angin menyapu waktu yang dijeda oleh diam.
“Aku harus pergi....” kataku
“...”
Engkau menatap kejauhan, melihat pemandangan yang menggigilkan. Tempat ini sungguh elok, seperti Negeri di Taman Surga. Bentangan hijau dengan takaran yang tidak sama tersaput dengan putih awan dan warna biru terang disela-selanya. Garis-garis lurus yang menghantar sinar matahari, terasa hangat menyentuh kulit, beradu dengan dingin yang menyusup ke pori-pori. Berada pada keindahan alam yang memesona terkadang membuat hati tidak lagi peduli dengan perpindahan hari.
“Kelak, ditempat ini kita akan bertemu lagi, dengan cinta yang sebenarnya” kataku
“...”
Danau membentang dibawah, menjadi cermin bagi bentang langit, sungguh menakjubkan. Seolah mencairkan tumpukan salju di puncak gunung. Lalu, airnya mengalir ke sungai yang berkelok keperakan jauh di bawah.  
“Hey,  lihat itu...” telunjukku mengarah pada pelangi.
Tatapanmu mengikuti arah telunjukku, menghampiri langit yang kini ditempeli oleh tumpukan garis melengkung warna-warni. Rambutmu menari oleh angin yang seolah ingin mencandamu.
“Aku akan selalu ada setiap kali kau melihat Ranggin kanan..”
Hening diisi suara angin yang mendesing.
“Harus apa lagi yang aku katakan pada hatimu, untuk membuat hatimu bisa mengerti dan menerima. Aku mencintaimu. Cinta yang bener-benar ada, sampai nafas terakhir.”
Tatapanmu tak lagi menghiraukan pelangi. Akupun tidak begitu yakin apa telingamu masih bisa mendengar setiap kata-kataku. Angin sejuk menyapu wajah, menyusupkan kesejukan ke dalam hati. Entahlah denganmu.
“Sekarang, dengarkan aku...”
Sepenggal waktu di antara 17-19 tahun yang lalu. Di rumah yang beratap rendah dan bertembok tanah liat. Rumah yang berbentuk kubus dengan halaman yang sangat luas itu. Aku masih baru bisa memanjat pohon kelapa waktu kamu lahir dari rahim mamak, seseorang yang selama ini telah mengasuhku. Nyaring tangismu, dan aku terpukau pada mungil jari kakimu. Entah kenapa aku suka sekali dengan jari kakimu. Ketika aku letih sepulang mengumpulkan kayu bakar, rotan atau buah-buahan di hutan, atau ketika tangismu membangunkan tidurku, aku akan memegang kaki mungilmu, dan itu akan membuatku tersenyum.
Ketika kamu baru bisa berjalan, kakimu mulai nakal. Kau ingin menyentuh setiap bunga mimosa yang kau jumpa di halaman belakang rumah, untuk membuat daunnya menguncup tertidur,  hingga tanpa sadar kau telah berjalan jauh masuk kedalam hutan. Kamu tahu Pelangiku, aku berlari disepanjang sungai, menghawatirkan tubuh mungilmu yang terbayang hanyut terbawa arus. Lalu dengan jantung yang terus berdegup kencang aku berlari menyusuri hutan. Sungguh aku tak akan memafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk padamu.
Mamak sudah tidak bisa lagi menopang tubuhnya oleh karena kesedihan yang mendera. Menjelang matahari terbenam, kaki kecilmu mengantar kamu kembali ke rumah, setengah berlari kau tersenyum dan menghambur kepelukanku. Kau pasti tidak ingat itu, tapi aku, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa melupakan senyum lugu, mata  pelangimu dan pelukanmu itu. Seolah kau ingin mengatakan, “aku tidak ingin jauh darimu”. Dan saat itu, entah karena kaki mungilmu, senyummu, mata pelangimu, atau pelukanmu, hatiku  ingin untuk selalu bisa melindungimu, Pelangi. Semoga nafasku tidak akan mengingkarinya.
....
Tatapan matamu tajam menembus kedalaman hati, sungguh kau ingin tahu kebenaran ucapanku. Ada segaris senyuman yang tak hendak kau tampakkan, andai saja kau tahu, bahwa gemuruh dadaku telah  melebihi meledakkan gunung.

Hingga detik ini, aku masih menunaikan janji itu. Aku melihatmu bertumbuh, cantik nian dan semakin dewasa. Lalu, siapa yang bisa menghalangi ketika ada rasa cinta yang menghinggapi hati. Rasa cinta yang selalu menggangu tidurku karena mata pelangimu selalu hadir dalam mimpiku. Awalnya, aku menduga akan butuh waktu yang lama untuk yakin, mencintai perempuan berwajah seindah permata adalah sebuah kekonyolan. Cinta hanya bagian dari musim, setelahnya siapapun tahu, rasa itu kelak akan membuatnya malu. Kenyataannya, cinta itu bertahan entah sudah berapa kali putaran musim, belum juga mati ataupun berakhir. Benar adanya, jika cinta itu tumbuh bersama waktu. Mungkin aku yang salah, karena terlalu pelan kesadaran itu datang, dan ketika mata hati terbuka rasa itu sudah menjadi gumpalan.
Aku paham, tanpa harus mendustai hatimu, Kau pun menyimpan rasa cinta yang sama. Tidak mudah memang, jika harus menghindari rasa yang tidak biasa ini. Tapi hatiku sungguh tersayat ketika kulihat mata pelangimu menangis, mungkin untuk meredam kepongahan cinta, mungkin untuk penyesalan karena kesalahan cinta, atau mungkin karena ketidakberdayaan untuk merubah menjadi cinta yang sebenarnya.   
Rasakan saja apa yang harus kamu rasakan. Sesakit apapun itu, ketika kamu merasakannya dengan cinta, maka akan terasa indah. Lupakan saja kalau memang harus dilupakan, karena tidak semua keinginan dan harapan akan nyata. Terkadang cinta harus mengalah pada takdir. Bertaruhlah dengan hatimu, siapa yang akan menang.
Pelangi, karena itu aku harus pergi, semoga jeda waktu tanpa mata pelangimu akan bisa menjelaskan cinta yang sebenarnya. Manusia terlahir dengan cinta, aku percaya cinta yang sebenarnya tidak akan salah ataupun pergi. Berdoa saja, semoga jika yang ada diantara kita adalah cinta yang sebenarnya, cinta itu akan terus bertumbuh, dan jika bukan, biarkan saja serat demi serat cinta itu tercerabut dan luruh.
....
Kamu menunduk, tidak terlalu terbaca apa mau hatimu..
Jaga mamak baik-baik, tak terkira besarnya kasih sayang mamak selama ini, balas kasih yang seharusnya aku berikan untuk mamak diusia senjanya, tapi aku justru meninggalkannya. Namun aku yakin, mamak  pasti mengerti alasanku.
Jaga dirimu juga, jangan biarkan mata pelangimu melelehkan air mata karena itu akan membuat salju yang menutup gunung mencair. Jaga hatimu, untuk tidak berburuk sangka atas apapun takdir Tuhan kelak.
Pelangi, ketika kamu merasa yakin telah bisa melupakan orang yang kamu cintai, namun ternyata kamu mendapati dirimu masih peduli padanya, maka itu adalah bukti cinta yang sebenarnya.
Sekarang, senyummu sudah benar-benar pudar, mata pelangimu terlihat mengembun, ada kesedihan dalam bahasa tubuhmu. Tak ada kata-kata, tak ada anggukan. Sedangkan, dikejauhan warna emas oleh cahaya sore adalah tujuan tanpa batas.
Sepotong sore yang hampir lewat....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar