Minggu, 07 Juni 2015

Tulisan

 DUNIA  INDAH TANPA SKRIPSI

Oleh: Ratna WD Paramita

Judul tulisan ini merupakan salah satu DP BBM mahasiswa yang sedang menempuh Skripsi. Tidak hanya itu: Emak ingin aku wisuda, ooh skripsi penyebab sakit kepala, Dandan dulu biar gak revisi, error 404 judul skripsi not found... dan banyak lagi anekdot lain yang sudah tersedia dan tinggal copas. Babak penulisan Skripsi seolah menjadi babak paling menyedihkan selama masa perkuliahan. Namun seandainya skripsi dihapuskan menjadi syarat untuk menraih gelar sarjana S1, apakah benar “dunia indah tanpa skripsi”?

Wacana penghapusan Skripsi bagi Mahasiswa Strata 1 (S1) oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), Muhammad Nasir  disambut pro dan kontra dikalangan Akademis. Motivasinya adalah untuk menekan potensi kecurangan penyusunan tugas akhir. Penulisan skripsi sedang dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana, sebagai gantinya nanti mahasiswa yang akan lulus akan diberikan pilihan-pilihan selain menyusun skripsi antara lain mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Apalagi proses kuliah selama ini terkait dengan tridharma pendidikan tinggi yang terdiri dari pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (jpnn.com: 23 Mei 2015).

Bagaimanapun menulis merupakan salah satu bentuk perwujudan intelektualitas, sebagai media untuk mencerdaskan dan menularkan ilmu kepada penerus maupun orang lain. Penulisan skripsi adalah sebagai wujud dan implementasi akhir dari apa yang telah dipelajari mahasiswa selama masa pendidikannya. Juga sebagai langkah awal untuk mulai belajar melakukan sebuah penelitian yang sebenarnya.

Sangat diakui bahwa tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan untuk menulis ataupun meneliti, sehingga kualitas dari skripsi yang dihasilkan pada perguruan tinggi tidak bisa dikatakan layak 100%. Namun inilah bagian dari pembelajaran yang harus dilakukan untuk mendukung literasi. Maka penghapusan skripsi akan menghambat atau akan semakin  menghambat minat menulis bagi mahasiswa dan para sarjana serta menghilangkan salah satu kesempatan bagi calon sarjana belajar menyusun karya tulis akademik.
Penulisan skripsi merupakan hasil akhir dari proses pembelajaran. Artinya pada masa perkuliahan mahasiswa sebenarnya sudah dibekali dengan teknik untuk menulis, melakukan analisis dan mempresentasikan  pada beberapa matakuliah. Mahasiswa yang benar-benar ingin belajar akan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik dan tidak asal copy paste ketika menyelesaikan tugas-tugasnya.

Selain itu Dikti juga memberi peluang dan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar menulis baik sebagai hasil dari penelitian atau kegiatan kewirausahaan melalui kegiatan PKM. Kegiatan seperti ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu opsi jika memang penghapusan skripsi benar-benar diterapkan. Artinya mahasiswa tetap memiliki hasil sebuah karya ilmiah untuk meraih gelar sarjananya. Apapun yang nanti akan dilakukan mahasiswa, melakukan penelitian di laboratorium, penelitian di masyarakat, research gab, ataupun melakukan kegiatan kewirausahaan tetap harus dituangkan dalam bentuk tulisan sebagai karya ilmiah.

Penulisan skripsi juga mengajarkan prinsip penting lain yang menjadi unsur utama dalam riset, yakni integritas dan cara berfikir ilmiah.  Rektor Universitas Gadjah Mada, Dwikorita Karnawati berpendapat skripsi menjadi bagian penting sekaligus tak terpisahkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi yang berbasis riset. Riset jadi salah satu cara pembuktian fakta dan hipotesis. Setiap riset memerlukan pondasi pelaksanaan prinsip kejujuran dalam proses pengembangan instrumen, pengumpulan data, analisis data hingga merancang kompleksitas argumentasi ilmiah. Ini menjadi bagian dari akuntabilitas akademik.(tempo, 30 Mei 2015)

Sedangkan Reni Marlinawati Anggota Komisi X DPR, wacana tersebut bukan solusi menghapuskan kecurangan hingga pemalsuan skripsi. Seharusnya yang dilakukan Kementerian Ristek dan Dikti adalah bukan mencari opsi tentang syarat lulus S1, tapi lebih pada peningkatan pengawasan terhadap Perguruan Tinggi (PT).

Ketetapan wacana tersebut sejauh ini belum dikeluarkan secara resmi oleh Kemenristek Dikti, kita berharap apapun ketetapan tersebut adalah yang terbaik untuk dunia pendidikan dan literasi di Indonesia. @

Tidak ada komentar:

Posting Komentar